Berita Utama Hukum dan Kriminal

ICJR Sebut Aktivis Lingkungan Daniel Frits Layak Divonis Bebas

ICJR Sebut Aktivis Lingkungan Daniel Frits Layak Divonis Bebas

Kriminalisasi terhadap aktivis menggunakan pasal karet seperi ujaran kebencian dan pencemaran nama masih terus terjadi. Salah satu korban kriminalisasi ini menyasar aktivis lingkungan di Karimunjawa, Jelara, Jawa Tengah, Daniel Frits Tangkilisan.

“Daniel Frits dikiriminalisasi menggunakan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, dan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Dua pasal ini memuat aturan yang ambigu,” dikutip dari keterangan tertulis Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR, Senin, 25 Maret 2024.

ICJR menilai, dua pasal yang memuat pemaknaan ambigu itu mudah dipakai untuk menjerat orang-orang yang aktif bersuara mengenai kepentingan publik. “Salah satunya Daniel Frits,” tutur ICJR. Aktivis lingkungan ini aktif bersuara mengenai aktivitas tambak udang di kawasan Karimun Jawa.

Dia dihukum setelah melayangkan kritik berupa komentar di Facebook. Kritik itu membuat dirinya dilaporkan oleh seseorang ke polisi akhir tahun 2022. Dalam perjalanan kasus Daniel Frits ini, lalu dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Jepara, yang selanjutnya diperiksa di Pengadilan Negeri Jepara. Sidang aktivis itu berlangsung sejak 1 Februari 2024.

Dalam proses persidangan, khususnya setelah pemeriksaan saksi dan ahli, serta surat tuntutan jaksa penuntut umum yang dibacakan pada 19 Maret 2024, ICJR mengirim amicus curiae (sahabat pengadilan) tentang perkara Daniel Frits, hari ini. Ada empat catatan ICJR dalam amicus itu.

Pertama, jaksa penuntut umum menggunakan materi pasal yang diatur UU ITE tahun 2016. Muatan materi tersebut telah diubah melalaui UU ITE baru, yakni UU No. 1 Tahun 2024. Rumusan Pasal 28 ayat 2 telah diubah dan diperjelas mengenai frasa “antargolongan”. Dalam UU baru ini, tidak ada lagi istilah SARA, melainkan disebutkan kelompok mana saja yang dimaksud dalam pasal.

Selanjutnya, rumusan pasal 27 ayat 3 serta ancaman hukumannya juga berubah. Berdasarkan asas Lex Favor Reo, yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) majelis hakim seharusnya menggunakan ketentuan paling baru yang tertuang dalam UU No. 1/2024.

Kedua, tidak tepat komentar Daniel Frits dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok. Walau JPU beranggapan bahwa komentar aktivis ini memunculkan pro dan kontra di masyarakat Karimun Jawa. “Perbedaan pendapat tersebut tidak termasuk dalam kategori antargolongan yang dimaksud Pasal 28 ayat 2 UU ITE,” tutur ICJR.

Menurut ICJR, jika merujuk Pasal 28 ayat 2 yang baru, pasal ini dibuat untuk mencegah timbulnya rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. “Jadi bukan soal pro dan kontra mengenai suatu pendapat,” kata ICJR.

Ketiga, tak tepat komentar Daniel Frits dikenakan pasal pencemaran nama. Dalam Pasal 27 ayat 3, tuduhan yang dilakukan haruslah diniatkan untuk merendahkan martabat orang tertentu. Delik ini harus menyasar orang perorangan atau individu. Bukan sekelompok orang atau badan hukum. Sehingga harus jelas orang yang disasar. “Daniel tidak menyasar orang-perorang sehingga tidak tepat mengenakan pasal tersebut,” ucapnya.

Berikutnya, ICJR menjelaskan, unsur “menuduhkan sesuatu hal” juga harus merupakan perbuatan. misalnya menuduhkan orang melakukan korupsi atau perbuatan lain dengan tujuan merendahkan martabat. Komentar Daniel, walaupun mungkin dianggap keras, tetap hanyalah penilaian semata terhadap kondisi ada di Karimun Jawa. Idiom “otak udang”, bukan merupakan bentuk perbuatan tertentu. Sehingga, ICJR menjelaskan, tidak tepat Daniel Frits dikenakan pasal pencemaran nama seperti diatur Pasal 27 ayat 3 UU ITE juncto Pasal 310 KUHP.

Keempat, perkara ini memenuhi unsur Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP). Pasal 66 UU 32 Tahun 2009, melindungi setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup dari gugatan atau laporan pidana. Laporan seperti ini sering disebut sebagai SLAPP, sehingga Pasal 66 menjadi perlindungan bagi pembela lingkungan atau ketentuan tentang Anti-SLAPP.

Menurut ICJR, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan MA No. 1 Tahun 2023, yang memberikan pedoman kepada hakim dalam menangani perkara lingkungan, salah satunya tentang SLAPP. Jika bisa dibuktikan bahwa terdakwa melakukan perbuatannya karena berhubungan dengan pembelaan terhadap lingkungan, hakim dapat memutus lepas. “Menurut kami, kasus Daniel memenuhi syarat dalam Peraturan MA ini,” tutur ICJR.

Berdasarkan empat catatan itu, Daniel seharusnya diputus lepas atau bebas. Bagi ICJR, berdasarkan catatan amicus curiae, perkara ini sejak awal sudah tak layak ditindaklanjuti penegak hukum. Seharusnya, perkara ini dihentikan sejak ditangani kepolisian. Atau jaksa yang memiliki kewenangan melimpahkan, menghentikan, proses penuntutan atau diskresi sebagai dominus litis.

Seharusnya perkara ini sudah dihentikan berdasarkan kewenangannya. Salah satu kewenangan yang disebutkan dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022, mengenai kasus SLAPP. Sehingga melalui amicus curiae ini, kami ICJR meminta majelis hakim mempertimbangkan secara hati-hati fakta hukum dan ketentuan kebebasan berpendapat serta pengaturan Anti-SLAPP. (Tempo)

+ posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *