Guru Besar, Ilmuwan Politik, Ahli Hukum, dan Aktivis 98 Demonstrasi Protes Pembangkangan DPR

Sejumlah guru besar, akademisi, ilmuwan politik, ahli hukum tata negara yang didukung oleh aktivis 98 akan melangsungkan aksi unjuk rasa di depan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 22 Agustus 2024 pukul 10 WIB. Aksi ini merupakan bentuk protes atas pembangkangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap putusan MK.
Dalam undangan yang beredar, aksi ini digerakkan oleh keprihatinan terhadap kondisi demokrasi di Indonesia yang disebutkan mengalami kemunduran drastis. “Ada semacam pembegalan terhadap demokrasi dan pelanggaran terhadap konstitusi. Demokrasi Indonesia telah bangkrut,” tulis undangan aksi yang diterima Tempo pada Rabu malam, 21 Agustus.
Beberapa tokoh intelektual terkemuka dipastikan akan hadir untuk memberikan orasi. Di antaranya adalah Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis Suseno, Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Valina Singka Subekti.
Tidak hanya itu, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad juga dijadwalkan untuk turut berorasi. Turut hadir pula Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, serta Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, dan masih banyak lagi.
Aksi tersebut tidak akan berhenti di depan gedung MK. Setelah memberikan orasi di sana, massa akan bergerak menuju Istana Merdeka, Jakarta Pusat, untuk melanjutkan protes mereka. Protes ini muncul di tengah sorotan publik terhadap putusan terbaru MK.
Sebelumnya, MK telah memutuskan untuk mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan ini diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora. Namun, keputusan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan, yang menilai ada upaya untuk mereduksi demokrasi dan melanggar prinsip-prinsip konstitusi. “Putusan MK vs Revisi UU oleh DPR telah menjadi problem konstitusional yang serius.”
Para akademisi ini pun menilai bahwa situasi ini mengingatkan pada ketegangan serupa di masa lalu, ketika MK dituding sebagai lembaga yang rentan terhadap intervensi politik. Ketegangan politik ini menunjukkan bahwa krisis kepercayaan terhadap lembaga negara terus berlanjut. Hal tesebut memperkuat keresahan masyarakat terhadap arah demokrasi Indonesia ke depan.