Berita Utama Politik

Hari Ini, Putusan Sidang Ketua LPRI Kalsel terkait Kasus Quick Count PSU Banjarbaru

Hari Ini, Putusan Sidang Ketua LPRI Kalsel terkait Kasus Quick Count PSU Banjarbaru

Majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarbaru akan membacakan putusan atas perkara terdakwa Ketua Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia Kalimantan Selatan (LPRI Kalsel), Syarifah Hayana, pada pukul 15.00 WITA, Selasa, 17 Juni 2025.

“Penjatuhan putusan oleh majelis hakim pada hari Selasa tanggal 17 Juni 2025 Pukul 15.00Wita , yang diharapkan dapat memberikan keadilan seutuhnya bagi Terdakwa,” kata Ketua Tim Hukum Banjarbaru Hanyar, Muhamad Pazri, pada Selasa (17/6/2025).

Tim hukum dari terdakwa Ketua Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia Kalimantan Selatan (LPRI Kalsel), Syarifah Hayana, melawan atas tuntutan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp40 juta subsider 6 bulan penjara. Syarifah didakwa atas pelanggaran Pemilu karena menyebarluaskan hasil quick count pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kota Banjarbaru.

“Tuntutan pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp40 juta terhadap terdakwa tidak berdasar hukum, karena seluruh unsur Pasal 187D juncto Pasal 128 huruf k UU Pemilukada tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan,” kata Ketua Tim Hukum Banjarbaru Hanyar, Muhamad Pazri, saat pembacaan pledoi.

Syarifah Hayana didakwa dan dituntut dalam perkara Nomor 153/Pid.Sus/2025/PN Bjb di Pengadilan Negeri Banjarbaru. Dalam pledoi, Pazri menyatakan bahwa yang dilakukan oleh DPD LPRI Kalsel hanya tabulasi data C.Hasil dari seluruh 403 tempat pemungutan suara (TPS), bukan quick count berbasis sampling.

Ia mengklaim penyajian data tersebut semata-mata merupakan bagian dari laporan pertanggungjawaban pemantauan kepada KPU Kalsel, sebagaimana telah disampaikan secara resmi pada 28 April 2025. Menurut Pazri, tidak ada kegaduhan nyata, demonstrasi, atau gangguan terhadap tahapan Pemilukada Banjarbaru yang muncul dari pemberitaan yang dipersoalkan.

“Bahkan, terdakwa bersama pengurus DPD LPRI Kalsel telah beritikad baik meminta pencabutan berita dari pihak media sejak dini hari tanggal 20 April 2025,” tegas Muhamad Pazri.

“Selama dua bulan ini, hanya tersisa tiga hak yang Bunda Syarifah miliki, yaitu hak hidup, hak beribadah kepada Allah SWT, dan hak menuntut keadilan di hadapan Yang Mulia Majelis Hakim,” ia melanjutkan.

Dalam catatan persidangan, Pazri berkata, tidak satupun saksi dapat membuktikan bahwa terdakwa Syarifah Hayana memerintahkan penyebaran informasi kepada media massa. Sebab, wartawan yang mengupload hasil quick count PSU Banjarbaru menyatakan datang ke kantor DPD LPRI Kalsel atas undangan saksi Rizki Amelia, bukan dari arahan terdakwa.

Lebih lanjut, Pazri menegaskan bahwa penerapan pasal yang multitafsir seperti Pasal 128 huruf k, berbahaya bagi masa depan demokrasi dan dapat dikriminalisasi terhadap siapa pun yang melakukan pemantauan, bahkan sekadar menyajikan data perolehan suara.

“Tuntutan JPU terhadap Bu Syarifah Hayana sama sekali tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Karena Bu Syarifah Hayana tidak memiliki niat jahat maupun tidak melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik Pasal 187D juncto Pasal 128 huruf k UU Pilkada,” lanjutnya.

Denny Indrayana, anggota tim hukum Banjarbaru Hanyar, menambahkan  unggahan hasil quick count adalah bagian dari tugas pemantau dalam kerangka transparansi demokrasi, tidak mengganggu jalannya Pilkada, dan justru dilindungi oleh prinsip kebebasan berekspresi serta hak publik atas informasi.

Menurut Denny, upaya pemidanaan tindakan ini melanggar asas legalitas karena Pasal yang diterapkan kabur, dan bertentangan dengan asas ultimum remedium serta penghormatan terhadap partisipasi warga dalam pemilu.

“Intinya dari Pasal 128 huruf k UU Pilkada adalah melarang pemantau melakukan aktivitas di luar lingkup pemantauan. Akan tetapi, apakah mempublikasikan hasil pengamatan (hitungan cepat) termasuk “kegiatan lain” yang dilarang?” ungkap Denny Indrayana.

Ia menjelaskan ruang lingkup tugas pemantau mencakup memantau dan melaporkan temuan. Pemantau pemilu pada hakikatnya bertugas mengamati proses pemungutan dan penghitungan suara, serta melaporkan hasil pengamatannya kepada publik dan otoritas terkait sebagai bentuk transparansi.

Menurut Denny, KPU melalui peraturan (misal PKPU No. 9 Tahun 2022) bahkan mendefinisikan quick count sebagai kegiatan perhitungan suara cepat oleh lembaga independen untuk memberikan informasi segera kepada masyarakat.

“Dengan demikian, ketika LPRI melakukan quick count, itu sejalan dengan tujuan pemantauan yaitu menyajikan gambaran hasil pemilu secara cepat dan transparan. Mengkategorikan hal ini sebagai kegiatan lain selain pemantauan adalah keliru, karena justru merupakan bagian dari aktivitas pemantauan itu sendiri, yaitu verifikasi hasil pemilu secara independen,” kata Denny Indrayana.

Ia menegaskan makna “kegiatan lainnya” harus ditafsirkan terbatas atau asas lex stricta. Sebab, larangan dalam Pasal 128 huruf k, tidak boleh ditafsirkan secara liar hingga mencakup segala hal yang multi tafsir.

Denny menilai quick count tidak termasuk kategori tercela. Sebab, MK dalam putusannya menyatakan quick count dan survei merupakan perwujudan partisipasi masyarakat yang sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945 (hak atas informasi). “Jika quick count disejajarkan dengan kegiatan mengacau pemilu, itu bertentangan dengan semangat MK dan konstitusi.”

Apalagi, tidak ada bukti bahwa Syarifah Hayana mengklaim hasil pantauannya sebagai hasil resmi KPU ataupun bermaksud menyesatkan masyarakat. Sebaliknya, kata Denny, ada bukti Syarifah Hayana siap tunduk pada hasil resmi dan hanya berusaha menghadirkan data pembanding untuk kontrol publik.

“Tidak ada kerugian yang ditimbulkan, baik bagi penyelenggara pemilu maupun bagi peserta. Maka pemidanaan dalam kasus ini justru akan menimbulkan preseden buruk: pemantau independen dan pegiat demokrasi bisa takut memberikan informasi karena ancaman pidana,” ucap Denny Indrayana.

Oleh karena itu, tim hukum Banjarbaru Hanyar memohon kepada majelis hakim memeriksa perkara ini dengan hati nurani yang bersih dan jujur, demi keadilan, kejujuran dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Adapun Syarifah Hayana berharap majelis hakim mendengar suara ketulusan hati seorang ibu. “Semoga Yang Mulia dapat mendengar suara ketulusan hati saya, bukan suara terdakwa, tapi suara seorang ibu yang berjuang menjaga kehidupan, dan percaya bahwa keadilan masih punya rumah di negeri ini,” kata Syarifah Hayana.

+ posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *