Jaksa Tertangkap Tangan, KPK Lepas Perkara ke Kejagung: Alarm Konflik Kepentingan
Pelaksana Tugas Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Sarjono Turin (kiri) bersama Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Asep Guntur Rahayu (kanan) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/12/2025) malam. (Foto: Dok Kakinews)
Jakarta – Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan penanganan perkara operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan sejumlah jaksa kepada Kejaksaan Agung menuai kritik keras.
Kelompok pemantau peradilan Democratic Judicial Reform (De Jure) menilai langkah tersebut tidak hanya janggal secara hukum, tetapi juga berpotensi mencederai prinsip independensi penegakan hukum.
OTT yang digelar KPK pada 17 Desember 2025 itu mengamankan beberapa jaksa yang diduga melakukan pemerasan terhadap seorang warga negara Korea Selatan yang tengah berhadapan dengan proses hukum. Namun alih-alih melanjutkan proses penyidikan, KPK justru menyerahkan para terduga pelaku ke Kejaksaan Agung dengan dalih institusi tersebut telah lebih dahulu menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Bagi De Jure, alasan itu sulit diterima. Mereka menegaskan bahwa penangkapan dilakukan dalam kondisi tertangkap tangan, ketika dugaan tindak pidana berlangsung secara nyata. Dalam situasi demikian, tidak ada ruang tafsir bagi institusi lain untuk mengambil alih perkara.
De Jure merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XXIII/2025 yang secara tegas menyatakan bahwa aparat kejaksaan yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana dapat langsung diproses hukum tanpa izin Jaksa Agung.
“Putusan tersebut justru dimaksudkan untuk menutup peluang intervensi kekuasaan tertinggi kejaksaan terhadap perkara pidana yang melibatkan aparatnya sendiri,” tulis De Jure, Sabtu (20/12/2025).
Dengan dasar itu, De Jure menilai penyerahan tersangka dari KPK ke kejaksaan tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat. Sebaliknya, langkah tersebut dinilai membuka ruang konflik kepentingan karena kejaksaan ditempatkan sebagai penyidik sekaligus institusi asal para terduga pelaku.
Kritik juga diarahkan pada klaim bahwa Sprindik telah terbit sebelum OTT dilakukan. Jika klaim itu benar, De Jure mempertanyakan mengapa kejaksaan tidak segera melakukan tindakan paksa terhadap para jaksa yang diduga terlibat, alih-alih baru bergerak setelah OTT dilakukan KPK.
“Argumentasi Sprindik justru menimbulkan tanda tanya baru, bukan pembenaran hukum,” tulis De Jure.
Sorotan De Jure tidak berhenti di situ. Mereka mengingatkan publik pada rekam jejak penanganan perkara internal kejaksaan sebelumnya, salah satunya kasus investasi robot trading Fahrenheit. Dalam perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro, dicopot dari jabatannya, sementara jaksa Azam Akhmad Ahsya dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Menurut De Jure, kasus itu menunjukkan bahwa mekanisme akuntabilitas internal kejaksaan kerap berjalan lambat dan minim transparansi. Pengawasan eksternal oleh Komisi Kejaksaan RI serta pengawasan internal di bawah Jaksa Agung Muda Pengawasan dinilai belum efektif mencegah praktik korupsi berulang.
Atas rangkaian persoalan tersebut, De Jure secara tegas mengecam penyerahan jaksa hasil OTT oleh KPK kepada kejaksaan. Mereka mendesak KPK untuk tetap mengambil alih dan melanjutkan penanganan perkara hingga tuntas.
“Jika dibiarkan, praktik ini akan menjadi preseden berbahaya bagi pemberantasan korupsi, khususnya ketika pelaku berasal dari institusi penegak hukum itu sendiri,” tulis De Jure.

