KPK Bantah Intervensi Kejagung, OTT Jaksa Tetap jadi Sorotan Publik
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto (Foto: Dok Kakinews.id)
Kakinews.id – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto membantah adanya intervensi dari Kejaksaan Agung dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat sejumlah oknum jaksa. Menurutnya, kedua institusi justru melakukan koordinasi dan kolaborasi dalam penanganan perkara, meski sejumlah pertanyaan kritis tetap muncul terkait proses pelimpahan tersangka.
Dalam beberapa pekan terakhir, KPK telah menangkap jaksa di Banten dan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kasus di Banten menjadi sorotan karena meski OTT dilakukan KPK, tersangka langsung dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kejagung kemudian mengumumkan tiga tersangka, yakni Jaksa RP dan RZ dari Kejaksaan Tinggi Banten serta HMK, Kepala Seksi Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Tigaraksa.
“[OTT di Banten] kita ketahui bersama sudah ada proses di sana. Sebagai bentuk saling menghargai, kita sepakati kemudian diserahkan,” ujar Fitroh dalam konferensi pers, Senin (22/12/2025).
KPK menegaskan bahwa pelimpahan tersangka bukan berarti lepas tanggung jawab. “Yang terpenting bukan siapa yang menangani, tetapi apakah ditangani atau tidak. Kejaksaan Agung langsung menetapkan mereka sebagai tersangka dengan jumlah orang dan pasal yang sama dengan kesepakatan kami,” tambah Fitroh.
Sementara itu, koordinasi juga terjadi di OTT Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, ketika Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) Kejaksaan Negeri setempat, Tri Taruna Fariadi, melarikan diri saat operasi berlangsung. KPK menyatakan penyerahan tersangka oleh Kejaksaan Agung merupakan bukti komitmen membersihkan jaksa yang melakukan dugaan korupsi, bukan bentuk intervensi.
Meski begitu, sejumlah pihak menyoroti risiko konflik kepentingan ketika institusi yang sama memiliki peran ganda sebagai aparat penegak hukum sekaligus pengawas internal. Pelimpahan OTT jaksa ke Kejaksaan Agung menimbulkan pertanyaan mengenai independensi proses penyidikan dan transparansi publik.
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Andi Prasetyo, menilai koordinasi memang diperlukan, tetapi “publik berhak mendapat informasi lebih jelas mengenai alasan pelimpahan, mekanisme pengawasan, dan bagaimana Kejaksaan Agung memastikan proses penetapan tersangka tidak bias.”
Kasus ini menambah daftar panjang OTT terhadap aparat penegak hukum di Indonesia, sekaligus menegaskan perlunya reformasi internal yang lebih transparan dan mekanisme anti-intervensi yang jelas. KPK menegaskan, meski terdapat koordinasi, komitmen untuk menindak jaksa yang diduga melakukan korupsi tetap menjadi prioritas.

