ICW–Kontras Laporkan 43 Polisi ke KPK, Dugaan Pemerasan Terjadi Sejak 2022
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok Kakinews.id)
Jakarta, Kakinews.id – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) resmi menyerahkan laporan dugaan pemerasan yang melibatkan puluhan anggota Polri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan tersebut disampaikan langsung ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa (23/12/2025). Total terdapat 43 anggota kepolisian yang dilaporkan terkait dugaan praktik pemerasan dalam sejumlah perkara berbeda.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menyatakan bahwa dugaan tindak pidana itu terjadi dalam rentang waktu 2022 hingga 2024 dan mencerminkan pola penyalahgunaan kewenangan yang berulang.
“Kami secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh 43 anggota kepolisian dalam empat perkara berbeda yang terjadi sejak 2022 sampai 2024,” ujar Wana di KPK.
Empat Perkara Disorot
Dalam dokumen laporan yang diserahkan ke KPK, ICW dan Kontras menguraikan empat kasus utama yang menjadi dasar pelaporan. Keempatnya meliputi:
Dugaan pemerasan dalam penanganan perkara pembunuhan,
Praktik pemerasan terkait penyelenggaraan konser Djakarta Warehouse Project (DWP),
Dugaan pemerasan dalam transaksi jual beli jam tangan,
Satu kasus lain yang diduga kuat melibatkan penyalahgunaan wewenang aparat.

Koalisi menilai kasus-kasus tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan menunjukkan pola sistematis yang merugikan masyarakat dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Kritik Penanganan Internal Polri
Wana menegaskan, pelaporan ke KPK dilakukan karena penanganan internal Polri dinilai belum menyentuh aspek pidana secara serius. Menurutnya, sanksi etik semata tidak cukup untuk memberikan efek jera.
“Ketika pelanggaran aparat penegak hukum hanya diselesaikan melalui mekanisme etik tanpa proses pidana, itu berbahaya bagi masa depan penegakan hukum,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa pembiaran semacam ini berisiko menormalisasi praktik korupsi dan pemerasan di tubuh aparat negara.
Dalam laporan tersebut, ICW dan Kontras juga merujuk pada Pasal 11 Ayat (1A) Undang-Undang KPK, yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
Dorong Reformasi Kepolisian
Koordinator Badan Pekerja Kontras, Dimas Bagus Arya Saputra, menyebut pelaporan ini sebagai bagian dari upaya mendorong pembenahan struktural di institusi Polri.
“Kami mendorong agar kepolisian melakukan evaluasi menyeluruh, sekaligus meminta KPK sebagai lembaga independen untuk mengusut kasus ini secara tuntas,” ujar Dimas.
Ia berharap langkah tersebut dapat menjadi contoh penting dalam penegakan hukum yang berorientasi pada prinsip antikorupsi, antinepotisme, dan antipemerasan.
Kasus ini kembali menegaskan tuntutan publik agar keadilan tidak berhenti pada sidang etik semata. Proses hukum pidana yang transparan dinilai menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

