BERITA UTAMA KPK RI

Eks Waka KPK La Ode M Syarif Bongkar Kejanggalan SP3 Kasus Korupsi Nikel Rp2,7 Triliun

Eks Waka KPK La Ode M Syarif Bongkar Kejanggalan SP3 Kasus Korupsi Nikel Rp2,7 Triliun

Mantan Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif (Foto: Ist)

Jakarta, Kakinews.id – Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015–2019, La Ode Muhammad Syarif, menilai penghentian penyidikan perkara dugaan korupsi yang menyeret mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai keputusan yang keliru dan sulit diterima secara hukum.

Menurut La Ode, perkara tersebut memiliki dimensi strategis karena berkaitan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam serta potensi kerugian negara dalam jumlah sangat besar.

“Kasus seperti ini tidak pantas dihentikan. Ini menyangkut sumber daya alam dan kerugian negaranya sangat signifikan,” kata La Ode kepada Kakinews.id, Senin (29/12/2025).

La Ode mengingatkan bahwa pada masa kepemimpinannya, KPK telah menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi perizinan pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara.

Penetapan tersebut dilakukan pada Oktober 2017 setelah penyidik menemukan bukti awal yang kuat.Ia menegaskan, saat status tersangka ditetapkan, unsur dugaan suap telah terpenuhi.

Sementara penghitungan kerugian keuangan negara kala itu masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

“Penetapan tersangka itu bukan tanpa dasar. Bukti suapnya sudah cukup, hanya penghitungan kerugian negara yang sedang berjalan di BPK,” ujarnya.

Karena itu, La Ode mengaku heran ketika KPK saat ini justru menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan tidak cukup bukti.

“Ini yang menjadi tanda tanya besar. Bagaimana mungkin perkara yang dulu sudah dinilai cukup bukti, kini dihentikan?” katanya.

Lebih lanjut, La Ode menilai bahwa sekalipun penghitungan kerugian negara tidak dapat dilanjutkan oleh BPK, KPK tetap memiliki ruang hukum untuk menuntaskan perkara melalui konstruksi tindak pidana suap.

“Kalau penghitungan kerugian negara menemui jalan buntu, seharusnya perkara suapnya tetap bisa dilanjutkan,” tegasnya.

Jejak Kasus Perizinan Nikel

Sebagaimana diketahui, KPK pada 4 Oktober 2017 menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka dugaan korupsi terkait penerbitan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi di Konawe Utara selama periode 2007–2014.

Saat itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut indikasi kerugian negara akibat praktik perizinan tersebut mencapai sedikitnya Rp2,7 triliun, yang bersumber dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh secara melawan hukum.

Selain kerugian negara, Aswad juga disinyalir menerima aliran dana suap sebesar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang nikel sepanjang 2007–2009.

“Atas penerbitan izin tersebut, tersangka diduga menerima uang dari sejumlah perusahaan tambang,” ujar Saut dalam konferensi pers, 3 Oktober 2017.

Dalam perkara ini, Aswad disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Daerah Kaya Nikel, Deretan PerusahaanKabupaten Konawe Utara dikenal sebagai salah satu sentra nikel terbesar di Sulawesi Tenggara.

Sejumlah perusahaan tercatat melakukan aktivitas pertambangan di wilayah tersebut, antara lain PT Unaaha Bakti, Konawe Nikel Nusantara (KNN), Bososi Pratama Nikel, Bumi Karya Utama (BKU), Dwi Multi Guna Sejahtera, hingga PT Surya Tenggara dan belasan perusahaan lainnya.

KPK sempat berencana menahan Aswad pada 14 September 2023, namun rencana itu batal karena yang bersangkutan harus menjalani perawatan medis.

Hingga akhirnya, pada 26 Desember 2025, KPK secara resmi mengumumkan penghentian penyidikan perkara tersebut.

Alasan KPK Terbitkan SP3Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan penerbitan SP3 dilakukan karena penyidik tidak menemukan kecukupan alat bukti, khususnya terkait unsur kerugian keuangan negara.

“Pasal 2 dan Pasal 3 mengalami kendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” ujar Budi dalam keterangan tertulis, Minggu (28/12/2025).

Selain itu, KPK juga menilai perkara dugaan suap telah melewati batas waktu penuntutan atau daluwarsa karena tempus delicti berada pada tahun 2009.

Meski demikian, Budi menegaskan KPK masih membuka kemungkinan penanganan ulang apabila terdapat informasi atau bukti baru dari masyarakat.

“Kami terbuka jika ada kebaruan informasi yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *