Badrul Ain Sanusi: Salah Input Rp5,1 Triliun Tak Masuk Akal, Pejabat Bank Harus Diperiksa
 
									Parlemen Jalanan Kalimantan Selatan, badrul Ain Sanusi
BANJARBARU – Pernyataan Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, yang sempat menyebut Kota Banjarbaru sebagai daerah dengan dana mengendap terbesar di perbankan hingga Rp5,1 triliun, sontak memicu kehebohan publik di Kalimantan Selatan.
Namun, hanya sehari setelah pernyataan itu beredar, Bank Kalsel memberikan klarifikasi mengejutkan. Dana fantastis tersebut ternyata bukan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarbaru, melainkan milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan.
Dalam penjelasannya, pihak Bank Kalsel mengakui adanya kesalahan teknis penginputan data, tepatnya pada kolom Golongan Pihak Lawan (GPL) di sistem perbankan. Akibatnya, 13 rekening Pemprov Kalsel dengan total saldo Rp4,746 triliun tercatat seolah milik Pemkot Banjarbaru.
Menanggapi hal itu, Gubernur Kalimantan Selatan H. Muhidin menggelar konferensi pers di Kantor Gubernur Kalsel, Banjarbaru, pada Selasa (28/10/2025). Ia menyebut pernyataan Menkeu tersebut tidak akurat dan menyesatkan.
“Pernyataan dari Menteri Keuangan itu keliru. Jangan seperti koboy salah tembak. Ini bukan dana mengendap,” tegas Muhidin.
Muhidin menambahkan, dana triliunan rupiah itu merupakan kas sementara Pemprov Kalsel yang ditempatkan dalam giro dan deposito, sembari menunggu realisasi belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp3,9 triliun berbentuk deposito dengan bunga 6,5 persen per tahun, atau sekitar Rp21 miliar per bulan.
“Bunga deposito masuk sebagai pendapatan sah daerah. Jadi ini justru menguntungkan, bukan merugikan,” jelasnya.
Ia juga telah memerintahkan evaluasi internal terhadap manajemen Bank Kalsel agar kejadian serupa tidak terulang.
“Kesalahan ini berdampak besar dan sudah bikin heboh. Saya minta ditelusuri sampai tuntas,” ujarnya.
Menurut Muhidin, penempatan dana kas daerah dalam bentuk deposito merupakan hal lazim yang dilakukan banyak pemerintah daerah sebagai bentuk optimalisasi keuangan daerah.
“Begitu diperlukan, dana bisa langsung dicairkan untuk kebutuhan pembangunan,” tutupnya.
Sementara itu, pengamat hukum Badrul Ain Sanusi menilai kesalahan pencatatan sebesar itu tidak bisa dianggap enteng.
“Ini bukan sekadar salah teknis. Ada potensi pelanggaran hukum yang harus diusut. Pejabat bank terkait wajib diperiksa dan bisa saja diberhentikan,” tegasnya.
Ia bahkan menduga kesalahan itu berpotensi menutupi praktik penyalahgunaan dana publik.
“Jangan sampai Pemkot Banjarbaru dijadikan kambing hitam atas kekeliruan atau penyimpangan dana APBD,” tambah Badrul.
Kasus salah input Rp5,1 triliun ini menjadi peringatan penting bagi dunia perbankan dan pemerintah daerah tentang pentingnya akuntabilitas serta ketelitian sistem keuangan digital. Satu kesalahan data bisa berujung pada krisis kepercayaan publik dan mengguncang stabilitas politik daerah.
 
                       
                       
                       
                       
                       
             
            

 
		 
		