Bareskrim Polri Ungkap Pabrik Narkoba Jenis Hashish di Uluwatu
Bareskrim Polri membongkar pabrik narkoba rumahan atau clandestine laboratory yang memproduksi narkoba jenis hashish di Uluwatu, Bali. Kasus ini merupakan pengungkapan laboratorium narkoba kedua di Bali, sekaligus kasus produksi hashish pertama di Indonesia.
Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu Widada, menjelaskan, jejak terkait kasus ini bermula dari pengungkapan kasus hashish di Yogyakarta pada September 2024. Saat itu, polisi berhasil mengamankan 25 kilogram hashish yang akan dikirimkan ke Belanda.
“Setelah kami lakukan penyelidikan, ternyata barang-barangnya berasal dari Bali,” ungkap Wahyu Widada saat konferensi pers di Bali, Selasa (19/11/2024).
Bareskrim, dalam hal ini Direktorat Tindak Pidana Narkoba, langsung bekerja sama dengan Polda Bali dan Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk melakukan penyelidikan terhadap barang-barang yang masuk dan diperkirakan akan menjadi sarana atau alat pembuatan narkoba. Usut punya usut, terenduslah keberadaan pabrik hashish di Gatot Subroto, Denpasar.
“Tapi sebelum kami gerebek, mereka sudah berpindah tempat lagi menuju daerah Padang Sambian. Setelah kita amati beberapa waktu, ternyata berpindah lagi,” jelas Wahyu.
Di sisi lain, Bea Cukai mendapatkan data pendukung berupa pengiriman mesin cetak Happy Five, evaporator hashish, dan pod system, serta beberapa prekursor (bahan pemula) dan bahan kimia. Seluruh pengiriman tersebut dilakukan melalui kargo Bandara Soekarno-Hatta dari luar negeri dan diduga digunakan sebagai alat produksi narkotika.
Dari data-data yang dikumpulkan, polisi berhasil mengendus dan langsung menggerebek Vila Wigo yang terletak di Uluwatu pada Senin (18/11/2024) siang. Empat orang yang berperan sebagai peracik dan pengemas berhasil ditangkap di tempat kejadian.
“Semuanya adalah pekerja yang sedang menjalankan proses pembuatan narkoba. Semua warga negara Indonesia (WNI), berinisial MR, RR, N, dan DA,” tutur Wahyu.
Sementara itu, masih terdapat empat orang yang berstatus sebagai DPO (buron), yakni DOM sebagai pengendali, RMD sebagai peracik dan pengemas yang sempat kabur sebelum digerebek, IC sebagai perekrut karyawan, dan MAN sebagai penyewa vila.
“Vila ini disewa secara harian dengan harga Rp2 juta per hari, tetapi dibayarnya secara mingguan. Jadi tidak disewa langsung sekaligus. Ini diperkirakan untuk memudahkan mereka, ketika ada sesuatu segera bisa pindah tempat,” tambahnya.
Dari hasil pengungkapan ini, didapatkan barang bukti narkoba dan prekursornya, di antaranya meliputi 18 kg hashish padat kemasan silver (100 gram per batang), 12,9 kg hasis padat kemasan emas (50 gram per batang), 18.210 butir pil happy five 0,4 gram, 35 butir pil happy five 0,2 gram, 547 cartridge hitam (isi 3,6 gram per catridge), 218 cartridge isi 1,5 gram, serta 6.600 cartridge kosong yang rencananya akan diisi.
Kemudian juga terdapat bahan baku setengah jadi, seperti 102 kilogram bahan baku hasis bubuk, 37 kilogram bahan baku happy five, 12 liter minyak ganja yang akan dimasukkan ke dalam cartridge, 7 kilogram bubuk ganja untuk campuran hashish, dan 10 batang ganja kering untuk campuran yang akan dihaluskan.
Sedangkan, alat-alat produksi yang ditemui meliputi 1 unit mesin liquid vape, 1 unit alat penyeduh liquid, 1 unit alat pengisi liquid, 2 unit alat pencetak tablet happy five, 1 unit alat pencacah ganja, 1 unit mesin genset, 1 unit alat pemeras minyak dari bahan hasis, 1 unit alat pemadat tablet happy five, 1 unit alat pengayak bubuk happy five, 1 unit alat pengaduk bubuk happy five, 1 unit alat press granulator happy five, 1 unit alat giling hasis, 1 unit alat press hasis hidrolik, 2 unit alat fermentasi ganja, dan 1 unit tabung pemanas spiral untuk mengekstrak kandungan THC (tetrahydrocannabinol).
KWahyu Widada turut mengungkapkan bahwa hashish cair merupakan salah satu modus peredaran narkotika baru yang mengincar anak muda. Hashish cair yang berada di dalam cartridge tersebut nantinya akan dijual sebagai komponen vape.
“Barang ini adalah barang yang sudah ada di pasaran dan mudah didapatkan, serta biasa digunakan oleh anak-anak muda sehingga kecurigaan terhadap orang yang menggunakan vape ini akan semakin kecil,” kata Wahyu.
Hashish diproduksi dengan mengekstrak tetrahydrocannabinol (THC) dalam ganja. Setiap 1.000 gram ganja diubah menjadi 200 gram hashish.
“Dalam memproduksi hashish, para pelaku mengekstrak kandungan THC dalam ganja dengan perbandingan setiap 1.000 gram ganja diekstrak menjadi 200 gram hashish,” ujarnya.
Setiap 1 gram hashish bisa dikonsumsi 1 orang. Hashish ini dijual dengan harga Rp3,5 juta per gram.
“Penggunaan 1 gram hashish dapat dikonsumsi oleh satu orang pengguna, di mana harga 1 gramnya yaitu senilai 220 USD per gram atau apabila dirupiahkan senilai Rp 3,5 juta per gram,” tuturnya.
Wahyu mengungkap penjualan hashish sebagai salah satu komponen vape merupakan metode atau strategi yang digunakan pengedar narkotika untuk mempermudah pemasaran. Menurutnya, tidak ada yang pernah curiga mengenai isi cairan vape.
“Itu kira-kira kalau dikonversi dengan penyelamatan jiwa manusia, kami bisa melakukan penyelamatan sebanyak 1.490.000 jiwa dari keseluruhan barang bukti tadi,” bebernya.
Kepada tersangka nantinya akan dikenakan pasal berlapis, yaitu pasal 114 ayat 2 subsider 112 ayat 2 juncto pasal 132 ayat 2 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup dan denda paling sedikit 1 miliar dan paling banyak 1 miliar.
Terkait psikotropika akan dikenakan pasal 59 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup dan denda paling banyak Rp750 juta.
“Untuk membuat efek jera, tentu kita akan menerapkan pasal-pasal terkait dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) karena selama para pelaku ini masih punya uang, dia bisa mengendalikan peredaran gelap narkoba,” ujar Wahyu.
Pasal TPPU yang dikenakan adalah pasal 137 huruf A dan B UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan pasal 3 juncto pasal 10, pasal 4 juncto pasal 10, pasal 5 juncto pasal 10 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman maksimal pidana penjara 20 tahun dan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Diketahui, clandestine laboratory yang baru saja digerebek ini mampu meraup untung hingga Rp1,5 triliun. Padahal, pabrik tersebut baru beroperasi selama 2 bulan. Rencananya, narkotika-narkotika tersebut akan diedarkan ke Bali dan Jawa, serta diekspor. (Tirto.id)