Berita Utama Lingkungan

Dari Tapak Mengawal Rencana Revisi UU Kehutanan: Akhiri Paradigma Kolonial

Dari Tapak Mengawal Rencana Revisi UU Kehutanan: Akhiri Paradigma Kolonial

Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) harus menjadi momentum perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Indonesia tidak boleh lagi menggunakan paradigma kolonial yang menganggap hutan sebagai komoditas milik negara semata. Seharusnya, Indonesia bisa menata kelola hutan dengan memberi pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal sebagai penjaga hutan yang sah. 

“UU Kehutanan harus berubah secara total karena sudah tidak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun, serta terhadap perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal. Jika tidak, Indonesia terancam gagal mencapai target pengurangan emisi di sektor FoLU,” kata Anggi Putra Prayoga, juru kampanye Forest Watch Indonesia dalam diskusi terbatas Forest Watch secara daring. Diskusi membahas rencana revisi UU Kehutanan yang telah masuk Prolegnas 2025. 

Anggi menekankan bahwa terdapat tiga pijakan utama dalam momentum RUUK yang harus berubah. Pertama, pentingnya mengubah paradigma kolonial yang tidak adil dalam memaknai hak menguasai negara.

Klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare wilayah daratan dan perairan ke dalam bentuk kawasan hutan milik negara adalah penetapan sepihak, yang semata-mata hanya aspek legalitas saja. Padahal dalam anotasi Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 tahun 2011, terdapat empat proses pengukuhan kawasan hutan, yakni penunjukan, penata batasan, pemetaan, dan penetapan.

“Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan Kementerian Kehutanan cacat dalam proses penata batasan kawasan. Kawasan hutannya legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat dan lokal di tapak. Bahkan anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, yang biasa rata-rata per tahunnya hanya 500 ribu hektare,” tegas Anggi.

Kedua, momen RUUK ini harus mampu menolak berbagai bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan, seperti program swasembada pangan dan energi, yang justru menjadi alat legitimasi pengrusakan hutan secara terencana dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal.  Ketiga, RUUK harus secara tegas mengakomodasi dan mengimplementasikan putusan MK, khususnya Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95, yang menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang semena-mena serta dari praktik perizinan ekstraktif yang merusak.

Menurut Riyono, anggota DPR RI dari Fraksi PKS, UU Kehutanan perlu direvisi dengan serius, dengan mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat, penegakan putusan MK, serta mengintegrasikan pengelolaan hutan dan pangan.

Dalam diskusi, Raden dari Walhi Kalsel menekankan selama paradigma kolonial bahwa hutan adalah milik negara masih dipertahankan, Masyarakat Adat Meratus akan terus dikorbankan demi izin ekstraktif.  “RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan utuh atas hak-hak Masyarakat Adat Meratus, yang tersingkir karena wilayah adat mereka dijadikan kawasan hutan,” tambah Raden.

Di Kalimantan Barat, hutan yang luas tak menjamin kesejahteraan karena tata kelolanya masih dikuasai logika kolonial dan kepentingan kapital. “Hutan Tanaman Industri di dalam konsesi kehutanan adalah kebun monokultur yang bukan hutan. RUU Kehutanan bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan masa depan,” tegas A Syukri dari Link-Ar Borneo.

RUUK harus menjadi benteng terhadap ekspansi korporasi, bukan jalan tol bagi proyek pangan dan energi yang mengorbankan hutan dan masyarakat adat. Darwis dari Green of Borneo Kaltara menegaskan tanpa perlindungan sosial, penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dan pelaksanaan Putusan MK 35 di tingkat tapak, revisi ini hanya akan memperluas konflik, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis di Kaltara atas nama pembangunan. 

Afifuddin dari WALHI Aceh menambahkan jika RUUK tak berpihak pada rakyat dan ekosistem, maka yang lahir bukan solusi, tapi legalisasi krisis di Aceh. Sulfianto dari Panah Papua menegaskan bahwa pendekatan eksploitatif dalam RUUK harus dihentikan, apalagi jika tanpa transparansi dan persetujuan masyarakat adat, maka yang terjadi bukan pembangunan, tapi penjajahan dalam bentuk food estate.

Di Jambi, transisi energi yang dijalankan konsesi kehutanan justru jadi kedok baru perampasan hutan, menggusur kebun rakyat, hingga konsesi yang berubah jadi tambang ilegal. “RUUK harus dikawal ketat agar narasi hijau tidak terus dipakai untuk mengabaikan hak ulayat dan merampas ruang hidup masyarakat,” tegas Oscar Anugrah dari WALHI Jambi.

Penguasaan sepihak atas hutan di Gorontalo sejak kolonial hingga hari ini juga terus berlangsung dalam rupa baru, yakni investasi, proyek monokultur, dan proyek bioenergi di Kabupaten Pohuwato yang meminggirkan masyarakat lokal. “RUUK harus menjadi alat koreksi terhadap warisan ketimpangan ini, bukan justru melanggengkannya demi kepentingan korporasi dan kepentingan transisi energi negara importir atas sumber daya hutan di Gorontalo,” tambah Defri Setiawan dari Walhi Gorontalo.

Di tengah keterbatasan ekologis pulau-pulau kecil Maluku, kebijakan kehutanan tak bisa terus mengulang sejarah pengabaian dengan menunjuk wilayah adat menjadi kawasan hutan negara, bias pulau besar, hingga lahirnya proyek biomassa di Pulau Buru yang menggusur ruang hidup. “Sudah saatnya masyarakat adat tidak sekadar diajak berpartisipasi, tapi diakui haknya sebagai pemilik sah hutan yang mereka rawat turun-temurun,” tegas Zul dari KORA Maluku. 

Faizal Ratuela dari WALHI Malut turut menambahkan ketika negara menjadikan pulau-pulau tak berpenghuni sebagai celah ekspansi proyek strategis nasional, tanpa melihat relasi komunal masyarakat dan daya dukung ekologi, maka yang dikorbankan bukan hanya hutan, tapi juga identitas, kesehatan, dan masa depan pulau-pulau yang rentan di garis gempa dan krisis iklim.

Dr. Andi Chairil Ichsan Kepala LPPM Universitas Mataram turut menambahkan bahwa RUUK bukan sekadar dokumen hukum, tapi cerminan memahami ulang makna hutan, memperbaiki struktur tata kelola, dan memastikan bahwa kekuasaan atas hutan tidak lagi dimonopoli, melainkan dibagi secara adil dan transparan demi masa depan sosial-ekologis yang berkeadilan. 

Selain itu, Dessy Eko Prayitno, S.H., M.H. dari Universitas Indonesia menambahkan bahwa pengakuan hak masyarakat dan tata kelola hutan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel harus menjadi roh dari UUK yang baru, baik pada tahap pengukuhan, perizinan, pengawasan, dan penegakan hukumnya.

+ posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *