Kejari HSU Bobrok: Mantan Kajari Albertinus Diduga Kutip Upeti dan Sunat Dana
Mantan Kepala Kejari HSU, Albertinus P Napitupulu (Foto: Dok Kakinews.id)
Jakarta, Kakinews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut dugaan pemerasan dalam proses penegakan hukum di Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Mantan Kepala Kejari HSU, Albertinus P Napitupulu, kini menjadi tersangka utama dalam perkara tersebut.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa pemeriksaan saksi dilakukan secara marathon di Mapolda Kalsel. “Pada Senin sampai Selasa, 29–30 Desember 2025 ini, sejumlah lima belas orang saksi dilakukan pemeriksaan oleh penyidik,” ujar Budi kepada wartawan, Rabu (31/12/2025).
KPK menegaskan fokus utamanya adalah mendalami praktik pemerasan yang diduga dilakukan tersangka saat menangani sejumlah perkara di wilayah hukum HSU. Selain itu, penyidik juga membongkar dugaan korupsi melalui pemotongan anggaran internal kejaksaan.
“Penyidik juga meminta keterangan dari saksi terkait proses dan mekanisme yang dilakukan dalam pemotongan anggaran di internal Kejari,” tegasnya. Budi menjelaskan, pencairan anggaran dilakukan tanpa kelengkapan administrasi resmi. “Dimana pemotongan yang dilakukan oleh tersangka melalui bendahara tersebut, yakni dengan mencairkan anggaran tanpa adanya surat perintah perjalanan dinas (SPPD),” tambahnya.
Tidak berhenti di situ, penyidik turut menelisik dugaan permintaan uang terhadap sejumlah dinas di HSU yang disertai dengan tekanan. “Sedangkan untuk pemeriksaan terhadap para pihak dari dinas-dinas terkait, penyidik menelisik besaran uang yang diminta yang disertai dengan ancaman oleh para tersangka,” ucap Budi.
Dalam perkara ini, selain Albertinus, KPK juga menetapkan dua pejabat Kejari HSU lainnya sebagai tersangka, yaitu eks Kasi Intelijen Asis Budianto dan eks Kasi Datun Taruna Fariadi.
Dari temuan KPK, Albertinus diduga menerima Rp 804 juta pada November–Desember 2025 serta memotong anggaran internal hingga Rp 257 juta untuk kepentingan pribadi. Ia juga ditengarai mengantongi Rp 450 juta dari sumber lain. Sementara Asis diduga menerima Rp 63,2 juta sepanjang Februari–Desember 2025, dan Taruna diduga menikmati aliran dana mencapai Rp 1,07 miliar.
Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan f UU Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 64 KUHP.

