Ketua LPRI Kalsel Ajukan Banding atas Vonis Pidana Percobaan di Kasus Quick Count

Syarifah Hayana, S.H., seorang tokoh perempuan dan Ketua DPD LPRI Kalimantan Selatan, resmi mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor 153/Pid.Sus/2025/PN Bjb, yang menyatakan dirinya bersalah karena diduga melanggar Pasal 187D jo. Pasal 128 huruf k Undang-Undang Pemilukada.
Vonis ini dijatuhkan meski Majelis Hakim sendiri mengakui dalam putusan bahwa Terdakwa tidak memerintahkan, tidak mengetahui, dan tidak menyetujui adanya perilisan berita media online yang menjadi dasar perkara. Dalam Memori Banding yang diajukan pada 24 Juni 2025, Tim Advokasi Hanyar menyebut vonis ini sebagai bentuk “kriminalisasi diam-diam” terhadap lembaga pemantau pemilihan.
“Kami tidak hanya membela seorang ibu, tetapi membela hak masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan pemilu tanpa rasa takut dikriminalisasi,” Prof. Denny Indrayana, S.H., LLM., Ph.D.
1. Peristiwa Hukum yang Dianggap Janggal dan Prematur
Putusan PN Banjarbaru menyatakan Syarifah Hayana bersalah karena, sebagai ketua lembaga, dianggap alpa dalam mencegah perilisan hasil penghitungan suara PSU oleh anggotanya. Namun Memori Banding menunjukkan:
Tidak ada bukti Syarifah memerintahkan atau mengetahui rilis berita media online. Rilis dilakukan oleh saksi Rizki Amelia dan disetujui saksi Candra Adi Susilo tanpa seizin Terdakwa;
Bahkan Syarifah sempat menghubungi wartawan dan meminta pencabutan berita — menunjukkan itikad baik.
Putusan ini, menurut Tim Hukum, bertentangan dengan asas hukum pidana nulla poena sine culpa — tidak ada pidana tanpa kesalahan.
“Bagaimana mungkin seseorang dihukum karena sesuatu yang tidak dia ketahui dan tidak dia lakukan?” tegas Ketua Tim Hukum Bjb Hanyar Dr.Muhamad Pazri,SH,MH.
2. Penerapan Pasal 128 huruf k UU Pemilukada yang Ambigu. Pasal 128 huruf k UU Pemilukada menyebutkan larangan bagi lembaga pemantau untuk “melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan”. Namun dalam praktiknya, tidak pernah dijelaskan secara normatif apa yang dimaksud sebagai “kegiatan lain”.
Analisis hukum dari Memori Banding menegaskan: Berdasarkan Lampiran I Keputusan KPU No. 328/2024, pemantauan justru mencakup penyajian data kepada publik dari proses pemungutan hingga penghitungan suara;
Merilis data tabulasi berbasis C.Hasil adalah bagian dari aktivitas pemantauan; Jika dianggap pidana, maka puluhan lembaga independen seperti KAWAL PEMILU dan NETGRIT juga seharusnya dipidanakan tapi kenyataannya tidak.
“Ini bukan pelanggaran hukum, melainkan pelaksanaan fungsi pemantauan dalam demokrasi,” tambah Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H.
3. Analisis Kealpaan (Culpa): Tidak Ada Perbuatan, Tidak Ada Akibat
Hakim tingkat pertama menggunakan dalil kealpaan sebagai dasar menjatuhkan pidana, dengan menganggap Terdakwa lalai mengawasi anak buahnya. Namun, analisis yuridis berdasarkan doktrin Pompe dan putusan MA menunjukkan bahwa: Unsur culpa harus memenuhi dua syarat: (1) adanya perbuatan yang dapat menimbulkan akibat, dan (2) akibat yang terjadi nyata dan dapat diprediksi.
Dalam kasus ini: Tidak ada perbuatan dari Terdakwa; Tidak ada akibat, karena tidak terjadi keresahan publik, tidak ada demonstrasi, dan tidak ada gangguan pada tahapan PSU; Tidak ada korban.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 880 K/Pid.Sus/2013 dan 2101 K/Pid.Sus/2010 dijadikan rujukan untuk membuktikan bahwa kealpaan tanpa keterlibatan atau tanpa akibat nyata tidak bisa dijadikan dasar pemidanaan.
4. Permintaan Vonis Bebas: Demi Demokrasi dan Keadilan
Tim Advokasi berharap agar Pengadilan Tinggi Banjarmasin memberikan vonis bebas terhadap Syarifah Hayana. Bukan hanya demi membebaskan seseorang dari vonis keliru, tetapi demi mencegah kriminalisasi yang lebih luas terhadap partisipasi masyarakat dalam pemilu.
“Kalau semua ketua lembaga pemantau bisa dipidana hanya karena anggotanya merilis informasi, itupun hanya 1 media online saja, apalagi laporan resmi LPRI kepada KPU Kalsel hasil perhitungan perolehannya sama dengan saat Pleno KPU, maka adanya perkara pidana ini siapa lagi Pemantau yang akan berani mengawasi pemilu?” Kisworo Dwi Cahyono, anggota tim hukum Hanyar.
Hukum Harus Adil dan Bernurani
Kasus ini bukan hanya tentang satu orang terdakwa. Ini adalah ujian bagi supremasi hukum dan perlindungan terhadap masyarakat sipil yang ingin turut serta menjaga demokrasi. Hukum yang tidak bernurani, hanya menjadi alat kuasa.
Tuntutan Kami:
Batalkan Putusan 153/Pid.Sus/2025/PN Bjb; Nyatakan Terdakwa tidak terbukti bersalah; Pulihkan nama baik Syarifah Hayana; Perjelas regulasi Pasal 128 huruf k agar tidak menjadi alat represif.