KPK Terus Mendalami Dugaan Korupsi Izin Pertambangan Maluku Utara

Komisi Pemberantasan Korupsi mendalami pemberian izin pertambangan. Pendalaman terkait dugaan suap yang menjerat Gubernur nonaktif Maluku Utara Abdul Gani.
Sebanyak dua saksi telah memberikan informasi tambahan ke penyidik. “Materinya didalami terkait perizinan WIUP (wilayah izin usaha pertambangan) di Maluku Utara,” kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu, 2 Maret 2024.
Kedua saksi pegawai negeri sipil (PNS) Badan Kepegawaian Daerah Muhammad Miftah Baay, dan pihak swasta Arsyad Sanakhi. Ali enggan memerinci perizinan pertambangan yang dinilai penyidik janggal.
KPK sejatinya ingin mendalami proses tersebut dengan memanggil pihak swasta M Reza Aminanto. Tapi, dia mangkir saat keterangannya dibutuhkan penyidik.
“(Reza akan) dijadwalkan ulang,” ucap Ali.
KPK membuka peluang mendalami dugaan suap terkait izin tambang nikel di Maluku Utara. Gubernur nonaktif Maluku Utara Abdul Gani Kasuba terseret dalam kasus ini.
“Dalam proses penyidikan tidak menutup kemungkinan itu juga ada dugaan penerimaan (suap) yang bersumber dari proses pemberian izin tambang nikel,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam telekonferensi yang dikutip pada Jumat, 26 Januari 2024.
Alex menjelaskan Maluku Utara merupakan salah satu wilayah yang menjadi sumber nikel di Indonesia. Karenanya, kata dia, pemantauan proses perizinan di sektor tersebut dinilai perlu dilakukan.
KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan dan perizinan proyek di Maluku Utara. Mereka yakni Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, Kadis Perumahan dan Permukiman Pemprov Maluku Utara Adnan Hasanudin, Kadis PUPR Pemprov Maluku Utara Daud Ismail, Kepala BPPBJ Ridwan Arsan, ajudan Abdul, Ramadhan Ibrahi, dan pihak swasta Stevi Thomas serta Kristian Wulsan.
Pada perkara ini, Stevi Thomas, Adnan Hasanudin, Daud Ismail, dan Kristian Wulsan sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan, Abdul, Ramadhan Ibrahim, dan Ridwan Arsan sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.