Kredit Macet Berbungkus Ekspor, Polri Jerat Bos PT MIF dan Pejabat LPEI dengan TPPU
Dirtindak Kortastipidkor Brigjen Totok Suharyanto (Foto: Dok Kakinews.id)
Jakarta, Kakinews.id – Penyidikan mega kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada pembiayaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memasuki babak baru.
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri menetapkan enam orang sebagai tersangka, dengan potensi kerugian negara menembus USD 43 juta atau sekitar Rp 728 miliar.
“Berdasarkan penghitungan yang kita terima tanggal 10 November 2025, kerugian keuangan negara sebesar USD 43.617.739,” ujar Dirtindak Kortastipidkor Brigjen Totok Suharyanto saat memaparkan perkembangan penyidikan di Mabes Polri, Rabu (31/12/2025).
Kasus ini berkaitan dengan pembiayaan ekspor LPEI kepada dua perusahaan, PT Duta Sarana Tehnology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF). Dalam penelusuran penyidik sejak Januari 2025, pembayaran kredit tersebut terindikasi sarat manipulasi.
“Penyidik telah menetapkan enam tersangka. Untuk LP A2, kita tetapkan lima orang dari unsur LPEI. Dan untuk LP A nomor 3, satu tersangka dari PT MIF,” jelas Totok.
FA, NH, dan DSD adalah pejabat pada Divisi Pembiayaan UKM yang diduga tidak menjalankan verifikasi dokumen sembilan end user yang ternyata fiktif. IS dan AS sebagai mantan jajaran Direktur Pelaksana disebut memberikan persetujuan pembiayaan yang tidak sesuai ketentuan. Sementara DN selaku Direktur Utama PT MIF diduga menyalahgunakan dana kredit untuk kepentingan perusahaan sendiri.
Totok memaparkan skemanya. LPEI pada 2012–2014 menggelontorkan pembiayaan ke PT DST sebesar Rp 45 miliar dan USD 4,125 juta. Ketika kreditnya gagal bayar, muncul upaya menutupinya dengan window dressing lewat novasi ke PT MIF.
“Pada akhirnya terjadi kredit macet senilai USD 9 juta. Untuk menyiasati pembiayaan bermasalah, dilakukan plafonering pembiayaan di akhir 2014 melalui skema novasi dari PT DST ke PT MIF,” terangnya.
Dari novasi inilah muncul kredit baru senilai USD 47,5 juta ke PT MIF melalui tiga tahap. Namun seluruh pembiayaan itu kembali bermasalah karena tidak ada proses pengecekan dan pengawasan yang memadai.
“Penyimpangan pada proses analisis, perjanjian dengan sembilan user fiktif, serta pencairan yang tidak sesuai prosedur membuat kredit macet kategori 5 senilai USD 43.617.739,13,” kata Totok.
Dalam rangka pemulihan aset, penyidik telah mengamankan puluhan objek properti yang terkait para tersangka. “Sudah kita lakukan blokir dan sita terhadap 27 objek, dengan luas tanah lebih dari 91 ribu meter persegi dan bangunan 14 ribu meter persegi. Sedang dalam proses appraisal,” tutupnya.
Seorang ahli hukum pidana ekonomi yang dimintai pendapat menilai langkah kepolisian sudah pada jalur yang tepat. “Kasus ini menunjukkan bagaimana penyimpangan dalam penyaluran pembiayaan negara dapat dilakukan secara terstruktur. Penegakan hukum harus menyasar seluruh pihak yang memperoleh keuntungan dari kejahatan asal dan proses pencucian uangnya,” ujarnya.
Selain memeriksa 76 saksi dan tiga ahli, penyidik juga telah menggeledah berbagai lokasi yang berkaitan dengan perkara. Keenam tersangka kini dijerat UU Tipikor serta UU No. 8/2010 tentang TPPU, karena diduga bersama-sama menyalahgunakan kewenangan dan melakukan praktik pencucian uang dalam pembiayaan ekspor.

