Berita Utama Politik

Kriminalisasi Ketua LPRI Kalsel Perlu Dihentikan, Tabulasi Bukan Quick Count

Kriminalisasi Ketua LPRI Kalsel Perlu Dihentikan, Tabulasi Bukan Quick Count

Banjarbaru- Tim Kuasa Hukum Terdakwa Syarifah Hayana, S.H. binti Said Muhammad Alaydrus membacakan Nota Pembelaan (Pleidoi) atas dakwaan dan tuntutan dalam Perkara Nomor 153/Pid.Sus/2025/PN Bjb di Pengadilan Negeri Banjarbaru.

Dalam nota pembelaan tersebut, Tim Penasihat Hukum yang terdiri dari 22 advokat dan konsultan hukum dari Tim Banjarbaru Hanyar (Haram Manyarah) menyampaikan dengan tegas bahwa tuntutan pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp.40.000.000,-(empat puluh juta rupiah) terhadap Terdakwa tidak berdasar hukum, karena seluruh unsur Pasal 187D juncto Pasal 128 huruf k UU Pemilukada tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan.

Dalam pembelaannya, Tim Hukum menyatakan bahwa yang dilakukan DPD LPRI hanyalah tabulasi data C.Hasil dari seluruh 403 TPS, bukan quick count berbasis sampling. Penyajian data tersebut semata-mata merupakan bagian dari laporan pertanggungjawaban pemantauan kepada KPU Kalsel, sebagaimana telah disampaikan secara resmi pada 28 April 2025.

Disebutkan pula bahwa tidak ada kegaduhan nyata, demonstrasi, atau gangguan terhadap tahapan Pemilukada yang timbul dari pemberitaan yang dipersoalkan. Bahkan, Terdakwa bersama pengurus DPD LPRI Kalsel telah beritikad baik meminta pencabutan berita dari pihak media sejak dini hari tanggal 20 April 2025.
Dalam pembacaan pleidoi yang menyentuh hati, tim hukum menyampaikan:

“Selama 2 (dua) bulan ini, hanya tersisa 3 (tiga) hak yang Bunda Syarifah miliki, yaitu hak hidup, hak beribadah kepada Allah SWT, dan hak menuntut keadilan di hadapan Yang Mulia Majelis Hakim.”

Dalam catatan persidangan, tidak satupun saksi dapat membuktikan bahwa Terdakwa memerintahkan penyebaran informasi kepada media. Bahkan, wartawan bersangkutan menyatakan datang ke kantor DPD LPRI Kalsel atas undangan Saksi Rizki Amelia, bukan atas arahan Terdakwa.

Lebih lanjut, pleidoi menegaskan bahwa penerapan pasal yang multitafsir seperti Pasal 128 huruf k, berbahaya bagi masa depan demokrasi dan dapat dikriminalisasi terhadap siapa pun yang melakukan pemantauan, bahkan sekadar menyajikan data perolehan suara.

Tuntutan JPU terhadap Bu Syarifah Hayana sama sekali tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Karena Bu Syarifah Hayana tidak memiliki niat jahat maupun tidak melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik Pasal 187D jo. Pasal 128 huruf k UU Pilkada. Unggahan hasil quick count adalah bagian dari tugas pemantau dalam kerangka transparansi demokrasi, tidak mengganggu jalannya Pilkada, dan justru dilindungi oleh prinsip kebebasan berekspresi serta hak publik atas informasi. Upaya mempidanakan tindakan ini melanggar asas legalitas (karena Pasal yang diterapkan kabur) dan bertentangan dengan asas ultimum remedium serta penghormatan terhadap partisipasi warga dalam pemilu.

Itinya dari Pasal 128 huruf k UU Pilkada adalah melarang pemantau melakukan aktivitas di luar lingkup pemantauan. Akan tetapi, apakah mempublikasikan hasil pengamatan (hitungan cepat) termasuk “kegiatan lain” yang dilarang?

Ruang lingkup tugas pemantau mencakup memantau dan melaporkan temuan: Pemantau pemilu pada hakikatnya bertugas mengamati proses pemungutan dan penghitungan suara, serta melaporkan hasil pengamatannya kepada publik dan otoritas terkait sebagai bentuk transparansi. KPU melalui peraturan (misal PKPU No. 9 Tahun 2022) bahkan mendefinisikan quick count sebagai kegiatan perhitungan suara cepat oleh lembaga independen untuk memberikan informasi segera kepada masyarakat. Dengan demikian, ketika LPRI melakukan quick count, itu sejalan dengan tujuan pemantauan yaitu menyajikan gambaran hasil pemilu secara cepat dan transparan. Mengkategorikan hal ini sebagai “kegiatan lain selain pemantauan” adalah keliru, karena justru merupakan bagian dari aktivitas pemantauan itu sendiri – yaitu verifikasi hasil pemilu secara independen.

Makna “kegiatan lainnya” harus ditafsirkan terbatas (asas lex stricta): Larangan dalam Pasal 128 huruf k tidak boleh ditafsirkan secara liar hingga mencakup segala hal. Dalam hukum pidana berlaku asas penafsiran restriktif – norma pidana yang abstrak harus ditafsirkan ketat sesuai tujuan pembentukannya. Ketentuan “melakukan kegiatan lainnya” bagi pemantau semestinya merujuk pada kegiatan di luar peran kepemantauan yang berpotensi mengganggu pemilu, misalnya ikut berkampanye, menjadi tim sukses, menerima imbalan dari peserta pemilu, melakukan intimidasi pemilih, dan sejenisnya. Quick count tidak termasuk kategori-kategori tercela tersebut. Malahan, MK dalam putusannya menyatakan quick count dan survei merupakan perwujudan partisipasi masyarakat yang sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945 (hak atas informasi). Jika quick count disejajarkan dengan “kegiatan mengacau pemilu”, itu bertentangan dengan semangat MK dan konstitusi.

Dan penegasan kita tidak ditemukan bukti bahwa Syarifah Hayana mengklaim hasil pantauannya sebagai hasil resmi KPU ataupun bermaksud menyesatkan masyarakat. Sebaliknya, ada bukti Syarifah Hayana menyatakan siap tunduk pada hasil resmi dan hanya berusaha menghadirkan data pembanding untuk kontrol publik. Tidak ada kerugian yang ditimbulkan – baik bagi penyelenggara pemilu maupun bagi peserta. Maka pemidanaan dalam kasus ini justru akan menimbulkan preseden buruk: pemantau independen dan pegiat demokrasi bisa takut memberikan informasi karena ancaman pidana.

Di akhir pembelaan, Tim Hukum menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim:

“Mohon kiranya Yang Mulia Majelis Hakim memeriksa perkara ini dengan hati nurani yang jujur dan bersih, demi keadilan, kejujuran, dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”

Dalam akhir pembelaannya, Syarifah Hayana mengungkapkan pembelaan pribadinya pada Majelis Hakim yang memeriksa perkara:

“Semoga Yang Mulia dapat mendengar suara ketulusan hati saya—bukan suara terdakwa, tapi suara seorang ibu… yang berjuang menjaga kehidupan,
dan percaya bahwa keadilan masih punya rumah di negeri ini.” dengan lirih pungkas Bunda Syarifah Hayana.

Agenda berikutnya adalah penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim pada hari Selasa tanggal 17 Juni 2025 Pukul 15.00Wita , yang diharapkan dapat memberikan keadilan seutuhnya bagi Terdakwa.

+ posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *