Berita Utama Nasional

Masyarakat PPU Minta Kejelasan Ganti Rugi Lahan IKN ke Bank Tanah

Masyarakat PPU Minta Kejelasan Ganti Rugi Lahan IKN ke Bank Tanah

Konflik penggusuran lahan di Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali memanas. Puluhan warga dari Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, didampingi oleh organisasi masyarakat GPN 08, mendatangi kantor Badan Bank Tanah di Jakarta pada Jumat 14 Maret 2025.

Mereka menuntut kejelasan atas pembayaran ganti rugi tanah yang hingga kini belum mereka terima, meskipun lahan mereka telah digunakan untuk pembangunan IKN.

Namun, audiensi yang seharusnya berlangsung damai berubah tegang ketika seorang pejabat Bank Tanah, berinisial Bagus A.H., menunjukkan sikap arogan terhadap warga yang mempertanyakan status kepemilikan tanah mereka. Suasana memanas setelah pejabat tersebut dengan nada tinggi menyatakan bahwa surat tanah mereka tidak lagi berlaku. Pernyataan itu langsung memicu protes keras dari warga yang merasa diperlakukan tidak adil.

Menurut saksi mata, ketegangan semakin meningkat setelah warga yang hadir merasa tidak mendapatkan jawaban memuaskan atas hak mereka. Seorang warga yang enggan disebut namanya mengungkapkan bahwa mereka hanya ingin kejelasan dan keadilan terkait tanah yang sudah dikuasai untuk pembangunan IKN.

“Kami datang dengan itikad baik, ingin berdiskusi soal hak kami. Tapi yang kami dapat justru perlakuan arogan. Seolah-olah tanah kami ini tidak ada nilainya,” ujar warga tersebut dengan nada kecewa.

Ketua Umum GPN 08, Dr. H. Sutomo, SH, MH, yang turut mendampingi warga, menegaskan bahwa masyarakat tidak menuntut lebih dari apa yang seharusnya mereka terima. Mereka hanya ingin ganti rugi sesuai peraturan yang berlaku.

“Tujuan kami audiensi adalah agar tanah rakyat yang telah digunakan segera dibayar oleh pemerintah. Kami minta ganti rugi, bukan ganti untung. Harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Faktanya, banyak tanah warga yang telah dibangun untuk IKN, tetapi mereka belum menerima pembayaran. Bahkan, ada indikasi intimidasi kepada masyarakat,” tegas Sutomo.

Menurutnya, Badan Bank Tanah sebagai lembaga yang mengurus pengadaan dan pengelolaan tanah negara seharusnya bekerja sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Selain itu, dalam menangani konflik pertanahan, lembaga ini juga seharusnya merujuk pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

“Reforma agraria itu tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat, bukan malah mengorbankan mereka. Bank Tanah seharusnya mengakomodir kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentingan pemerintah atau investor,” tambahnya.

Pembangunan IKN yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan Indonesia ternyata menyisakan banyak masalah di tingkat masyarakat lokal. Sejak proyek ini dimulai, berbagai laporan terkait penggusuran lahan tanpa penyelesaian yang adil terus bermunculan.

Sejumlah warga mengklaim bahwa tanah mereka telah diambil tanpa adanya proses ganti rugi yang transparan. Beberapa lainnya mengaku mendapat tekanan agar menerima harga yang jauh lebih rendah dari nilai pasar.

Pengamat agraria, Dr. Arif Budiman, menilai bahwa permasalahan ini muncul akibat kurangnya komunikasi dan sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat terdampak.

“Seharusnya ada pendekatan yang lebih manusiawi dalam pengadaan lahan untuk IKN. Jika masyarakat merasa haknya dilanggar, ini bisa berdampak pada citra proyek itu sendiri. Jangan sampai pembangunan IKN yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional malah menimbulkan luka sosial di masyarakat,” paparnya.

Dalam audiensi tersebut, warga yang didampingi GPN 08 menegaskan tiga tuntutan utama mereka kepada Badan Bank Tanah dan pemerintah:

Pembayaran ganti rugi yang adil dan sesuai regulasi. Warga meminta pemerintah mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan memastikan semua pihak yang tanahnya digunakan mendapatkan kompensasi layak.

Transparansi dalam proses pengadaan lahan. Masyarakat ingin kepastian hukum terkait status kepemilikan lahan mereka dan meminta adanya keterbukaan dalam setiap tahapan negosiasi.

Perlindungan terhadap masyarakat terdampak. Warga menolak segala bentuk intimidasi atau tekanan dari pihak mana pun yang berusaha memaksa mereka menyerahkan tanah tanpa proses yang adil.

Sejauh ini, pihak Bank Tanah belum memberikan tanggapan resmi terkait insiden tersebut. Namun, masyarakat dan GPN 08 berencana untuk terus mengawal masalah ini dan tidak menutup kemungkinan akan membawa persoalan ini ke ranah hukum jika tuntutan mereka tidak segera dipenuhi.

“Kami tidak akan tinggal diam. Ini soal hak masyarakat. Jika pemerintah tidak segera menyelesaikan, kami akan terus bergerak hingga keadilan benar-benar ditegakkan,” tutup Sutomo dalam keterangan persnya. Sabtu (15/03).

Dengan polemik yang semakin memanas, kasus ini menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam membuktikan komitmennya terhadap keadilan sosial di tengah ambisi besar pembangunan IKN. Apakah pemerintah akan mengakomodasi tuntutan masyarakat, atau justru tetap berjalan tanpa mendengar suara rakyat. (BeritaNasional.id)

+ posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *