
Seni bela diri tradisional Kuntau merupakan warisan budaya yang tumbuh dari interaksi panjang masyarakat Banjar dengan etnis Tionghoa di Kalimantan Selatan. Kata Kuntau diyakini berasal dari bahasa Hokkian Kun Tao yang berarti tangan tinju atau ilmu bela diri. Tradisi ini mulai berkembang sejak abad ke-17 hingga 18, dibawa oleh pedagang Tionghoa yang bermukim di pesisir Kalimantan Selatan, terutama di kawasan Banjar dan Martapura.
Seiring waktu, gerakan dan filosofi bela diri Tionghoa itu berpadu dengan kearifan lokal Banjar, termasuk nilai-nilai Islam yang kuat di masyarakat. Dari perpaduan inilah lahir Kuntau yang khas: gerakannya luwes namun tegas, memadukan kelenturan dengan kekuatan. Kuntau tidak hanya berfungsi sebagai sarana pertahanan diri, tetapi juga mengajarkan nilai disiplin, keberanian, penghormatan, dan kebersamaan. Kini, Kuntau dipandang sebagai warisan budaya takbenda Kalimantan Selatan yang perlu terus dilestarikan.
Sebagai upaya menjaga keberlangsungan tradisi tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Selatan melalui UPTD Museum Lambung Mangkurat menggelar kegiatan belajar bersama seni bela diri Kuntau, Minggu (21/9/2025) di Banjarbaru.
Kegiatan ini diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, pelajar, mahasiswa, hingga perwakilan lima perguruan silat Kuntau di Kalimantan Selatan. Suasana penuh antusiasme menunjukkan Kuntau masih memiliki tempat penting di hati masyarakat.
Fungsional Pamong Budaya Muda Museum Lambung Mangkurat, Raudatul Aflaha, mewakili Kepala Disdikbud Kalsel, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk komitmen museum dalam melestarikan warisan budaya takbenda. “Kuntau bukan sekadar keterampilan bela diri, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur seperti disiplin, keberanian, penghormatan, dan kebersamaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, Museum Lambung Mangkurat diharapkan dapat menjadi ruang terbuka bagi berbagai komunitas seni dan budaya, tidak hanya terbatas pada Kuntau.
Kegiatan belajar bersama Kuntau ini sekaligus menjadi penutup rangkaian Gebyar Museum Lambung Mangkurat Eksplorasi Tanpa Batas, setelah sebelumnya digelar lomba Habsyi dan Pushbike Race.
“Ke depan, kami berharap museum bisa terus menjadi wadah pelestarian seni dan budaya. Komunitas kesenian dan kebudayaan apa pun diharapkan bisa bekerja sama dengan kami untuk mencintai budaya, mencintai sejarah, dan mencintai museum,” pungkas Raudatul.