BERITA UTAMA Hukum

OTT KPK Tak Pernah Usai: Ongkos Politik Mahal, Kepala Daerah dan Jaksa Berguguran

OTT KPK Tak Pernah Usai: Ongkos Politik Mahal, Kepala Daerah dan Jaksa Berguguran

Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang (tengah) (Foto: Kakinews.id)

Kakinews.id — Maraknya operasi tangkap tangan (OTT) yang kembali menyasar kepala daerah hingga aparat penegak hukum memantik kritik tajam dari parlemen. Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menilai deretan OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menguak persoalan mendasar yang tak kunjung disentuh negara: mahalnya ongkos politik dan rapuhnya sistem pencegahan korupsi di daerah.

Abdullah menegaskan, berbagai riset menunjukkan korelasi kuat antara biaya politik yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah dengan praktik korupsi pascapelantikan. Kepala daerah, kata dia, terjebak pada tekanan “balik modal” yang mendorong jalan pintas melalui penyalahgunaan wewenang.

“Data penelitian berulang kali menyebut korupsi kepala daerah bersumber dari ongkos politik yang mahal. Dalam kondisi terdesak, cara paling instan untuk menutup biaya itu adalah korupsi,” ujar Abdullah, Minggu, 21 Desember 2025.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyebut rentetan OTT belakangan sebagai ironi di tengah gencarnya kampanye anti-korupsi pemerintah. Ia menilai penindakan demi penindakan tidak otomatis mencerminkan keberhasilan reformasi hukum.

“OTT yang terus berulang adalah potret memilukan di tengah masifnya perlawanan terhadap korupsi yang dikomandoi Presiden Prabowo Subianto,” katanya.

Menurut Abdullah, fakta bahwa praktik korupsi tetap subur menunjukkan reformasi hukum lebih banyak berhenti pada slogan. “Peristiwa OTT itu seolah tidak menggubris tuntutan reformasi hukum untuk keadilan yang digaungkan publik,” tegasnya.

OTT Beruntun, Akar Masalah Tak Tersentuh

Abdullah menilai KPK selama ini terlalu menonjolkan penindakan, namun belum cukup agresif menyentuh akar persoalan. Ia mendorong strategi sistemik berbasis pencegahan, pengawasan terintegrasi berbasis teknologi digital, serta pemulihan aset negara secara maksimal.

“Pertanyaannya, bagaimana menyelesaikan korupsi dengan menyentuh langsung sumber masalahnya? OTT KPK banyak terjadi di daerah dan melibatkan kepala daerah, birokrat, aparat penegak hukum, hingga swasta. Ini bukan kebetulan,” ujarnya.

Pernyataan itu mengemuka di tengah serangkaian OTT besar dalam waktu berdekatan. Pada 18 Desember 2025, KPK menangkap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang bersama sejumlah pihak dalam operasi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. KPK belum mengungkap detail modus perkara, namun penangkapan tersebut merupakan bagian dari operasi simultan yang menjaring puluhan orang di tiga lokasi berbeda dalam satu hari.

Tak berhenti di situ, KPK juga menggelar OTT di Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan. Operasi ini menyeret pejabat penegak hukum—mulai dari Kepala Kejaksaan Negeri HSU hingga Kepala Seksi Intelijen Kejari HSU—dalam dugaan pemerasan. Meski tidak melibatkan kepala daerah, kasus ini menambah daftar panjang aparat hukum yang diduga menyalahgunakan kewenangan.

Di wilayah lain, KPK menangkap sembilan orang dalam OTT di Banten dan Jakarta, termasuk jaksa dan pihak swasta. Hingga kini, lembaga antirasuah belum merinci apakah perkara tersebut terkait suap, pemerasan, atau skema korupsi lainnya.

Alarm Keras bagi Negara

Bagi Abdullah, rangkaian OTT lintas daerah dan lintas institusi ini adalah alarm keras. Ia menilai negara gagal memutus mata rantai korupsi dari hulunya—mulai dari pendanaan politik, lemahnya pengawasan, hingga minimnya transparansi birokrasi.

“Selama ongkos politik dibiarkan mahal dan pengawasan hanya reaktif, OTT akan terus berulang. Yang berubah hanya nama dan daerahnya,” pungkas Abdullah.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *