OTT KPK: Pelarian Kasi Datun Tri Taruna Fariadi Membuka Skema Setoran Terorganisir di Kejari HSU
Tri Taruna Fariadi—Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU) (Foto: Ist)
Jakarta – Pelarian Tri Taruna Fariadi—Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (HSU)—saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Amuntai bukan sekadar kegagalan penindakan.
Peristiwa itu justru membuka lapisan terdalam praktik pemerasan yang diduga telah mengakar dan dijalankan secara sistematis dari ruang pimpinan Kejari HSU.
Dalam konferensi pers dini hari di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu (20/12/2024), Deputi Penyidikan KPK Asep Guntur mengungkap bahwa perkara ini tidak berdiri sendiri.
Skema yang terbongkar menunjukkan pola pengumpulan dana terorganisir, melibatkan pejabat struktural kejaksaan dan menjadikan kepala dinas hingga direktur rumah sakit sebagai “sumber setoran”.
Dua Jalur, Satu KomandoPenyidik menemukan bahwa mantan Kepala Kejaksaan Negeri HSU, Albertinus, diduga mengendalikan sedikitnya dua jalur utama pengumpulan dana ilegal.
Dalam rentang waktu singkat—sekitar dua bulan—uang yang mengalir ke lingkaran kekuasaannya ditaksir mencapai Rp804 juta.Jalur pertama dijalankan melalui Tri Taruna Fariadi.
Dari tangan Tri, setoran mengalir dari Kepala Dinas Pendidikan (RHM) sebesar Rp270 juta dan Direktur RSUD Pambalah Batung (FEN) senilai Rp235 juta.
Polanya tidak selalu berupa uang tunai; sebagian dikamuflasekan dalam bentuk fasilitas perjalanan dan kebutuhan lain yang diserahkan bertahap.
Jalur kedua dikendalikan oleh Kasi Intel Kejari HSU, Asis Budianto. Dari jalur ini, Kepala Dinas Kesehatan (YND) disebut menyetor Rp149,3 juta.
Selain itu, Asis juga menerima “uang jasa” sebagai perantara dari berbagai pihak lain yang totalnya mencapai Rp63,2 juta.
KPK menilai kedua jalur ini tidak berjalan independen, melainkan terhubung dalam satu rantai komando.
Menggerogoti dari DalamYang membuat perkara ini kian serius, praktik penyimpangan ternyata tidak berhenti pada pemerasan pihak eksternal.
KPK menemukan indikasi kuat bahwa Albertinus juga menjadikan anggaran internal Kejari HSU sebagai ladang penjarahan.
Penyidik mengungkap pencairan Tambahan Uang Persediaan (TUP) sebesar Rp257 juta tanpa dukungan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) yang sah.
Selain itu, terjadi pemotongan anggaran di sejumlah unit kerja internal. Fakta ini tidak hanya didasarkan pada dokumen, tetapi juga diperkuat oleh keterangan bendahara kejaksaan sendiri.
Rekening Keluarga, Jejak Uang Negara
Penelusuran aliran dana membawa penyidik pada temuan yang lebih sensitif: rekening istri Albertinus.
KPK mencatat setidaknya Rp450 juta masuk ke rekening tersebut dalam periode Agustus hingga November 2025.
Dana itu bersumber dari Kepala Dinas PUPR serta Sekretaris DPRD HSU—dua posisi strategis yang memiliki keterkaitan langsung dengan kebijakan anggaran dan proyek daerah.
KPK mendalami apakah rekening tersebut digunakan sebagai “buffer” untuk menyamarkan hasil kejahatan.
Barang Bukti dan BuronanSaat penggeledahan di rumah dinas Albertinus, penyidik menyita uang tunai Rp318 juta.
Jumlah ini diyakini hanya sebagian kecil dari total dana yang telah dikumpulkan.
Sementara itu, Tri Taruna Fariadi hingga kini belum tertangkap. KPK resmi memasukkannya dalam daftar pencarian dan menegaskan bahwa perannya tidak sebatas perantara.
Berdasarkan catatan penyidik, Tri secara pribadi diduga telah menerima gratifikasi senilai Rp1,07 miliar sejak 2022, berasal dari kontraktor hingga mantan pejabat dinas.
KPK mengingatkan bahwa setiap pihak yang membantu pelarian tersangka berpotensi dijerat pidana.
Bagi penyidik, penangkapan Tri menjadi kunci untuk membuka lebih jauh seberapa luas praktik pemerasan ini menjalar—dan siapa saja yang selama ini memilih diam.

