BERITA UTAMA Hukum

Penetapan Tersangka Kerry Korupsi Pertamina Dinilai Cacat Hukum: Kriminalisasi Bermotif Politik atau Perang Bisnis?

Penetapan Tersangka Kerry Korupsi Pertamina Dinilai Cacat Hukum: Kriminalisasi Bermotif Politik atau Perang Bisnis?

Muhamad Kerry Adrianto Riza (Foto: Dok Kakinews.id/Repro Ant)

Jakarta, Kakinews.id – Penegakan hukum kembali disorot tajam. Penetapan Muhamad Kerry Adrianto Riza sebagai tersangka tindak pidana korupsi dinilai sarat kejanggalan hukum, tidak konsisten, dan berindikasi kuat kriminalisasi. Polanya bahkan dinilai mirip dengan kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan 2015–2016, yang lebih dulu dituding dalam perkara yang kini dipersoalkan secara serius.

Dalam kasus Tom Lembong, penahanan pada 29 Oktober 2024 dilakukan sebelum terpenuhinya syarat formil dua alat bukti yang sah. Klaim kerugian keuangan negara sebesar Rp400 miliar terbukti spekulatif dan kemudian direvisi menjadi Rp578 miliar setelah audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang baru rampung tiga bulan pasca penahanan.

“Ini tuduhan yang tidak nyata, tidak pasti, dan tidak didukung fakta ekonomi riil,” kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) kepada Kakinews.id, Kamis (25/12/2025).

Audit BPKP sendiri menuai kritik karena memasukkan komponen “kemahalan” dan “kurang bayar pajak” yang dinilai tidak memenuhi kriteria kerugian keuangan negara. Bahkan, komponen pajak telah dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim. Meski demikian, unsur “kemahalan” tetap dipertahankan dengan logika yang dinilai menyimpang, termasuk anggapan bahwa harga dasar adalah harga maksimum dan sudah termasuk PPN.

Ironisnya, Tom Lembong terbukti tidak menerima suap maupun gratifikasi dalam bentuk apa pun. Artinya, unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi.

Pola Serupa Terulang pada Kerry

Dugaan kriminalisasi kembali mencuat dalam kasus Muhamad Kerry Adrianto Riza, pengusaha di sektor penyewaan kapal tanker dan fasilitas penyimpanan bahan bakar. Kerry ditahan sejak 25 Februari 2025, namun baru disidangkan delapan bulan kemudian, Oktober 2025.

Rentang waktu yang panjang ini memicu dugaan bahwa penahanan dilakukan sebelum alat bukti mencukupi. Kecurigaan tersebut menguat setelah dakwaan di persidangan ternyata tidak sinkron sama sekali dengan tuduhan awal saat penahanan.

Awalnya, Kerry dituduh terlibat korupsi “tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dan KKKS periode 2018–2023”. Namun tuduhan besar ini lenyap total dalam dakwaan resmi. Di persidangan, Kerry hanya didakwa terkait pengadaan penyewaan kapal tanker dan fasilitas penyimpanan BBM—perkara yang sama sekali berbeda dari tuduhan awal.

Kejanggalan berlanjut. Tuduhan mark up kontrak shipping sebesar 13–15 persen, yang sempat digembar-gemborkan Kejagung, juga tidak muncul dalam dakwaan. Begitu pula tudingan praktik BBM oplosan Pertalite menjadi Pertamax—yang sejak awal telah dibantah tegas oleh Pertamina dan dinyatakan sebagai disinformasi.

Semua tuduhan tersebut menguap.

Dari Rp193 Triliun ke Rp2,9 Triliun

Kerugian negara yang semula disebut mencapai Rp193,7 triliun—bahkan disebut “kuadriliunan”—akhirnya menyusut drastis dalam dakwaan resmi. Kerry kini didakwa merugikan negara:

USD 9,86 juta dan Rp1,07 miliar dari penyewaan kapal tanker

Rp2,9 triliun dari penyewaan fasilitas penyimpanan BBM

Perbedaan ekstrem ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai validitas perhitungan auditor negara dan integritas konstruksi perkara sejak awal.

Bahaya Preseden: Beneficial Owner Jadi Alat Jerat

Yang paling mengkhawatirkan, Kerry tidak didakwa atas perbuatan langsung, melainkan karena disebut sebagai beneficial owner dari perusahaan yang terlibat. Jika konsep ini digunakan tanpa pembuktian keterlibatan langsung, maka seluruh pemilik perusahaan di Indonesia berpotensi dikriminalisasi ketika perusahaannya terseret perkara.

“Jika ini dibiarkan, Indonesia berada dalam kondisi darurat hukum,” ujarnya.

Pertanyaan besar pun mengemuka: mengapa standar ini tidak diterapkan secara konsisten?

Dalam kasus suap pajak yang melibatkan Bank Panin, Gunung Madu Plantations, dan Jhonlin Baratama, tidak satu pun beneficial owner dijerat. Demikian pula dalam skandal minyak goreng yang melibatkan Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group—tak ada pemilik manfaat yang ditetapkan sebagai tersangka.

Kenapa Kerry?

Ketidakkonsistenan ini memperkuat dugaan praktik tebang pilih dalam penegakan hukum. Publik pun bertanya:
Apakah Kerry menjadi target politik? Atau korban persaingan bisnis berskala besar?

Jika hukum digunakan sebagai alat tekanan, bukan keadilan, maka yang terancam bukan hanya individu—melainkan kepastian hukum dan iklim usaha nasional.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *