Pakar Hukum: KPK Jangan Cuci Tangan, Skandal Dana Sosial BI Tak Mungkin Tanpa Restu Dewan Gubernur
Gubernur BI Perry Warjiyo memberikan keterangan saat konferensi pers penetapan suku bunga acuan di Jakarta, Kamis (22/6/2023). Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada tahun 2023. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Jakarta, Kakinews.id – Pakar Hukum Pidana Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak terjebak pada pola penegakan hukum yang parsial dalam mengusut dugaan korupsi dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI).
Menurut Hudi, langkah KPK yang sejauh ini baru menyentuh klaster anggota DPR menunjukkan penyidikan belum menyentuh akar persoalan. Ia menilai, penyelidikan semestinya diperluas hingga ke lingkar pengambil kebijakan di Bank Indonesia.
“Tidak masuk akal jika aliran dana CSR ke yayasan yang terafiliasi dengan anggota DPR dianggap sebagai keputusan individual. Ini pasti hasil keputusan kolektif,” tegas Hudi kepada Kakinews.id, Jumat (26/12/2025).
Ia menekankan, penyidik tidak boleh berhenti pada pemeriksaan Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta semata. Menurutnya, seluruh jajaran Dewan Gubernur BI patut dimintai pertanggungjawaban, termasuk Gubernur BI Perry Warjiyo—yang ruang kerjanya telah digeledah—serta Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti dan para deputi lainnya: Juda Agung, Aida S. Budiman, dan Ricky P. Gozali.
“Kalau KPK serius, maka harus dibuka siapa yang menyetujui, siapa yang mengetahui, dan siapa yang diuntungkan. Jangan hanya berhenti pada penerima dana di hilir,” ujar Hudi.
Sebelumnya, KPK menyatakan tidak menutup kemungkinan menetapkan tersangka baru dari unsur DPR maupun pejabat Bank Indonesia. Sejumlah nama anggota DPR yang disebut berpotensi terseret antara lain Heri Gunawan dan Satori—keduanya telah berstatus tersangka—serta Fauzi Amro, Rajiv (NasDem), Kahar Muzakir (Golkar), Dolfi (PDIP), Fathan Subchi (PKB), Amir Uskara (PPP), dan Ecky Awal Mucharram (PKS).
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menegaskan bahwa status jabatan tidak menjadi tameng hukum. “Siapa pun yang terbukti mengetahui dan bertanggung jawab, dapat ditetapkan sebagai tersangka sepanjang alat bukti mencukupi,” ujarnya.
Dalam perkara ini, Heri Gunawan dan Satori ditetapkan sebagai tersangka pada 7 Agustus 2025. Meski belum ditahan, KPK menyatakan masih memperkuat konstruksi perkara dan penelusuran aliran dana.
Berdasarkan penyidikan, Panitia Kerja Komisi XI DPR yang membahas anggaran BI dan OJK diduga menyalurkan dana sosial melalui yayasan yang dikendalikan anggota DPR. Proposal bantuan diajukan oleh tenaga ahli dan orang kepercayaan para tersangka, namun pada periode 2021–2023 dana PSBI disebut tidak direalisasikan sesuai kegiatan sosial yang diajukan.
Heri Gunawan diduga menikmati aliran dana sebesar Rp15,86 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadi, mulai dari pembangunan rumah makan hingga pembelian aset tanah dan kendaraan. Sementara Satori diduga menerima Rp12,52 miliar yang dialihkan ke deposito, pembelian lahan, showroom mobil, dan kendaraan, termasuk dengan modus penyamaran transaksi melalui bank daerah.
Atas perbuatannya, keduanya dijerat Pasal 12B Undang-Undang Tipikor serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Hudi menegaskan, keberanian KPK mengungkap peran elite BI akan menjadi ujian nyata komitmen pemberantasan korupsi. “Kalau hanya berhenti di DPR, publik wajar curiga ada standar ganda dalam penegakan hukum,” pungkasnya.

