BERITA UTAMA

Walhi Kalsel Serukan Tindakan Serius Pemerintah Menghadapi Bencana Ekologis di Sumatra dan Kalimantan Selatan

Walhi Kalsel Serukan Tindakan Serius Pemerintah Menghadapi Bencana Ekologis di Sumatra dan Kalimantan Selatan

KAKINEWS.ID, BANJARMASIN — Gelombang bencana di Sumatra kembali menyita perhatian publik. Korban jiwa yang terus bertambah serta akses evakuasi yang terhambat akibat infrastruktur terputus menunjukkan urgensi penanganan cepat dan terukur dari pemerintah, Senin (1/12/2025).

Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa rangkaian bencana tersebut tidak semata disebabkan faktor alam, melainkan kegagalan tata kelola lingkungan.

Direktur lembaga lingkungan Raden Rafiq Sepdian menegaskan bencana harus dilihat sebagai peringatan serius.

“Korban-korban di Sumatra bukan sekadar angka. Mereka adalah nyawa manusia. Ketika kita melihat gelondongan kayu berukuran besar terseret banjir, itu bukan fenomena alami. Itu bukti nyata pembalakan hutan yang menghilangkan daerah resapan air dan memicu bencana ekologis,” ujar Rafiq.

Ia menambahkan, bencana tidak mengenal batas geografis. Kondisi serupa berpotensi terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) apabila tata kelola ruang hidup tidak dilakukan secara bertanggung jawab.

“Kalsel telah kehilangan lebih dari 150.000 hektare tutupan pohon alami sejak 2001 akibat ekspansi industri ekstraktif seperti tambang dan sawit. Banjir besar 2021 adalah bencana historis, dan terbaru, longsor di Banjarsari, Angsana, Tanah Bumbu pada 2025 terjadi akibat aktivitas tambang ilegal,” jelasnya.

Menurut Rafiq, penegakan hukum yang lemah memperparah keadaan.

“Tambang ilegal tidak mungkin terjadi tanpa terlihat. Ada suara mesin, ada galian menganga, ada kendaraan berat lalu lalang. Mengapa pemerintah selalu menunggu bencana tiba baru bertindak?” tutupnya.

Sementara itu, Jefry Raharja, Divisi Advokasi dan Kampanye, memperkuat pernyataan tersebut dengan data terkini mengenai tata ruang dan risiko ekologis.

“Dari total luas Kalimantan Selatan, sekitar 51,57 persen telah dibebani izin konsesi. Ketika lebih dari separuh wilayah dikuasai kepentingan bisnis, tata kelola lingkungan menjadi tidak optimal. Risiko sosial dan ekologis meningkat, termasuk terhadap masyarakat adat dan daerah resapan air di kawasan Meratus,” ujar Jefry.

Ia menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk mendorong perubahan kebijakan.

“Masyarakat sipil perlu bergerak bersama. Kita berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Negara harus memastikan keselamatan warga, bukan hanya kepentingan ekonomi elite,” tegasnya.

Koalisi ini berencana membuka ruang dialog dengan pemerintah daerah, akademisi, serta organisasi pemuda untuk merumuskan langkah mitigasi lingkungan berbasis keadilan ekologis dan keberlanjutan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *