ICW Sebut Vonis Hukuman Koruptor Rata-rata 3 Tahun 4 Bulan Penjara
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap bahwa rata-rata vonis majelis hakim terhadap para koruptor berada pada kategori ringan. Laporan ini disampaikan dalam peluncuran laporan tren vonis korupsi 2023 yang digelar pada Senin, 14 Oktober 2024.
“Hukuman penjara pelaku korupsi, dari Januari sampai Desember 2023 hanya 3 tahun 4 bulan penjara” ucap peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Menurut Kurnia, sebuah omong kosong kalau ada yang mengatakan ‘kita sudah serius’ dalam menindak pelaku korupsi, karena ternyata proses penyelidikannya dan penindakannya bermasalah. Kurnia menyebut dari seluruh tingkatan pengadilan terdapat 1.649 putusan dengan jumlah terdakwa 1.718, sedangkan pengadilan tingkat pertama saja hanya 898 terdakwa.
Sedangkan untuk pengenaan pidana lainnya, seperti denda, Kurnia mengatakan temuan ICW rata-rata penjatuhannya hanya Rp 180 juta per-orang. Jika ditotal dari 830 persidangan dengan pemidanaan yang mengakomodir hukuman denda, Hakim hanya mengembalikan kerugian negara sebanyak Rp 149 miliar saja. “Padahal jumlah kerugian negara mencapai Rp 56.075.087.787.308,” jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa ICW membagi putusan hakim dalam tindak pidana korupsi ke dalam tiga kategori, yaitu ringan (di bawah 4 tahun), sedang (4 tahun sampai 10 tahun), dan berat (di atas 10 tahun). “Maka, tahun 2023 rata-rata vonis hakim saat ini ringan,” tuturnya.
Ia menyebut, angka ini terlalu ringan jika dibandingkan dengan kerugian negara yang muncul. Bisa terjadi salah satunya lantaran hakim tidak mempertimbangkan latar belakang koruptor. Seharusnya, kata Kurnia, ada beban yang dibedakan untuk pejabat publik yang melakukan tindak korupsi, apalagi dalam skala besar. Misalnya, kasus Bupati Natuna, Ilyas Sabil, dengan merugikan negara 7,7 miliar hanya dituntut 4 tahun penjara.
Begitu juga Tamrin Tamin, yang berprofesi sebagai pejabat Direktur PDAM, korupsinya sebesar Rp 4,2 miliar, tapi hanya dituntut selama 1,5 tahun penjara. “Dengan latar belakang pekerjaan mereka harusnya dapat dijadikan alasan pemberat tuntutan. Akan tetapi, KPK sebagai penuntut umum malah memilih menuntut ringan dua terdakwa tersebut,” jelas Kurnia.
Berbicara latar belakang, Kurnia menyampaikan yang paling banyak divonis ringan adalah pihak swasta, diikuti aparatur sipil negara, dan kepala desa. Adapun pengadilan yang paling banyak menjatuhkan vonis ringan ialah pengadila Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Palembang, Medan dan Jakarta Pusat.
Maka, menurut Kurnia badan pengawas terutama Komisi Yudisial harus turun langsung mengawasi persidangan. “Badan Pengawas harus mulai aktif melihat hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan atau bebas kepada terdakwa. Jangan hanya menyurat, tapi day by day,” ujarnya.
Selain itu, ICW, kata Kurnia, mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih sedikit melekatkan tindak kerugian keuangan negara dan pidana pencucian uang (TPPU) dalam menuntut suatu kasus, kalah jauh dibandingkan dengan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kejagung menuntut tambahan uang pengganti sebesar Rp 82 triliun, sedangkan KPK hanya Rp 675 miliar. KPK lebih banyak menggunakan pasal 2 dan 3 yang mana tuntutannya minimal 4 tahun penjara dan denda maksimal 1 miliar.
“Sebab, UU Anti Pencucian Uang mengakomodir hukuman denda hingga Rp 10 miliar, sedangkan UU Tindak Pidana Korupsi maksimal hanya Rp 1 miliar,” ucap Kurnia. “Pemantauan juga turut menemukan bahwa pengenaan hukuman denda yang mencapai maksimal hanya dikenakan kepada 12 terdakwa.”
Padahal, Kurnia menyampaikan bahwa Pasal 17 UU Tindak Pidana Korupsi, pengenaan uang pengganti tidak hanya bisa dijatuhkan pada delik korupsi kerugian keuangan negara saja, namun dapat dikenakan pada setiap perbuatan, salah satunya, suap-menyuap.
Menurutnya, Sebab, esensi pemidanaan untuk kejahatan korupsi tidak cukup hanya dengan bertumpu pada pemidanaan badan, melainkan juga harus masuk lebih jauh pada pemulihan kerugian negara.
“Kerugian negara sangat besar, uang pengganti sangat rendah, dan pemangku kepentingan persidangan kejaksaan, kpk, dan mahkamah agung masih gagal dalam memberikan efek jera pada pelaku korupsi” ucap Kurnia.
“Maka, ICW mendorong agar pemerintah dan DPR harus segera mengundangkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar pemulihan kerugian akibat praktik korupsi bisa dimaksimalkan.” tegasnya. (Tempo.co)