Kejagung RI Kembali Setujui Perkara di Kejati Kalsel Berdasarkan Restorative Justice

Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative Justice (RJ) di Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Selatan (Kejati Kalsel), kembali disetujui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
Kejaksaan Agung RI, Prof Dr Asep Nana Mulyana, S.H.,M.Hum yang dihadiri langsung oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalsel Rina Virawati,S.H.,M.H.
Adapun penghentian penuntutan tersebut berasal dari Kejari Tapin, dimana Khamim Atmaja disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) UU RI No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kasus bermula pada Selasa 14 Mei 2024, tersangka yang merupakan
seorang supir mobil tronton muatan berangkat dari Banjarmasin menuju ke daerah Hulu Sungai, sesampainya di Jalan A Yani Km 102 Desa Rumintin Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, tiba-tiba personeling gigi mobil tronton tidak berfungsi dan tidak bisa dinetralkan.
Khamim menghentikan mobil tronton dan memeriksa stang kopling patah, akhirnya dia memutuskan untuk berhenti di pinggir jalan, dengan posisi ban kiri depan dan belakang berada dibahu jalan, namun tanpa memberikan rambu lalu lintas trafikcon atau
rambu segitiga ataupun lampu hazard.
Korban Siti Norhayati dengan mengendarai sepeda motor akhirnya menabrak bagian belakang Mobil Tronton yang terparkir hingga mengakibatkan korban meninggal dunia.
Penghentian penuntutan berdasarkan RJ karena tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan ancaman tindak pidana dibawah lima tahun. Kemudian telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan terdakwa dengan cara mengganti kerugian korban, mengembalikan barang yang diambil dari korban dan telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan terdakwa.
Kajati Kalsel Rina Virawati, S.H,MH
melalui Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Yuni Priyono mengatakan, penghentian perkara sesuai dengan ketentuan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Restorative Justice. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) telah berkoordinasi dengan pihak penyidik yang menangani perkara tersebut.
“Penerapan restoratif justice tidak mudah, ada ketentuannya, di antaranya sudah ada perdamaian, korban memaafkan perbuatan tersangka, adanya ganti rugi, dan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana nilainya tidak lebih dari Rp 2,5 juta serta perbuatan tindak pidana yang dilakukan tersangka baru pertama kali,” katanya, Kamis (25/7/2024).