Dr. Semuel Risal, M.Si Dosen STIA Bina Banua Banjarmasin
Demokrasi di Indonesia telah berkembang menjadi “industri politik” yang membutuhkan biaya yang sangat besar untuk berinvestasi. Tingginya biaya Pilkada langsung yang harus di keluarkan oleh kandidat untuk bertarung dalam kontestasi Pilkada, sehingga menjadi pintu masuk para cukong politik untuk mencari rente melalui Pilkada. Pilkada telah menjadi arena pertarungan antar cukong, dan daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar menjadi rebutan cukong lokal dan nasional. Mereka bertarung melalui pendanaan dan pembiayaan semua kebutuhan kampanye kandidat. Sehingga pada lokus ini, mereka menguasai sumber daya alam dan merekalah yang menentukan siapa yang akan menjadi bupati, gubernur hingga siapa yang menjadi presiden.
Pemilihan langsung Kepala Daerah di Indonesia yang dikenal dengan Pilkada langsung sesungguhnya menjadi konsensus politik nasional, yang merupakan salah satu instrumen penting dalam menyelenggarakan pemerintahan di tingkat lokal pasca desentralisasi dan otonomi daerah. Sejak tahun 2005, Pilkada langsung mulai diperkenalkan hingga tahun 2015 Pilkada mulai diselenggarakan secara serentak sebagai suatu solusi untuk menanggulangi berbagai masalah yang dihadapi sebelumnya khususnya biaya pemilu yang dikucurkan dari APBN dan APBD begitu besar. Namun Pilkada langsung menjadi jalan pembuka dan terciptannya peluang bagi pengusaha dan politisi lokal untuk membangun jaringan baru kekuasaan dan mereka mengendalikan sumber daya di tingkat lokal (Collins, 2007).
Permasalahan yang ditemui pada hampir setiap Pilkada tidak pernah sepi dari lumuran ‘politik uang’ mulai dari proses pencalonan, penyerahan sejumlah uang saat menjelang pendaftaran calon hingga uang mahar politik. Selain itu biaya kampanye yang digunakan kandidat yang maju bertarung dalam kontestasi, membutuhkan biaya yang sangat besar. Sehingga Pilkada menjadi arena politik uang yang berdampak pada tingginya biaya yang dikeluarkan oleh para calon Kepala Daerah. Pada gilirannya, oligarki lapisan orang super kaya yang berkuasa menjadikan demokrasi elektoral berada di bawah kepentingannya, dengan menyediakan sejumlah uang bagi pasangan calon yang dijagokannya sebagai imbalan atas peneguhan kekuasaan ekonominya di tingkat lokal. Pemilu dan pilkada selalu diisi lumuran politik uang untuk ‘membeli’ suara pemilih. Pilkada serentak pun gagal mencegah maraknya taburan uang. Oligarki predatoris itu dapat memobilisasi jaringan patronase yang terdesentralisasi, koalisi cair dan saling bersaing, termasuk melibatkan jaringan preman dan paramiliter (Vedi R. Hadiz, 2010).
Pilkada langsung tidak ubahnya sebagai arena perebutan kekuasaan dan jabatan bagi segelintir politisi dan elit lokal untuk mengakumulasi kapital keuangan bagi mereka dan kelompoknya hingga kepentingan partai politiknya. Lebih dari itu, pesta lima tahunan ini juga momentum bagi para pengusaha berbasis lahan skala besar yang sedang mencari jaminan politik dalam melanggengkan bisnis mereka di daerah pertambangan. Indikasi lain adalah banyak izin usaha pertambangan yang bermasalah (KPK, 2018) mengidentifikasi izin bermasalah hingga kini ada sebanyak 3.772 IUP. Berbagai kasus dikandungnya, mulai dari status yang Non-CnC (clean and clear), izin yang tumpang tindih, tidak taat pajak, dan tidak sedikit pula dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah sebagai pemberi izin. Sementara kontestasi politik dewasa ini memakan biaya yang demikian besar. Biaya politik untuk menjadi walikota atau bupati di Indonesia bisa memakan biaya antara 20 sampai 30 miliar rupiah, sementara untuk posisi gubernur antara 20 hingga 100 miliar rupiah. Sementara harta kekayaan para politikus yang mencalon jadi kepala daerah rata-rata hanya Rp.6,7 miliar rupiah. Lalu pertanyaannya, dari mana kekurangan dana ini didapatkan?
Perludem mengungkapkan bahwa terdapat 4 (empat) sumber pembiayaan yang menyebabkan tingginya ongkos politik Pilkada langsung, yaitu (1) Biaya perahu pencalonan kepala daerah (partai politik), (2) Dana kampanye untuk politik pencitraan, (3) Ongkos konsultasi dan survey pemenangan, (4) Politik uang (Tim Peneliti Perludem, 2011). Demikian pula hasil kajian Litbang Kementerian dalam negeri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 Milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar antara 20-100 Milyar. Bahkan biaya untuk menjadi Kepala Daerah lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya menjadi anggota legislatif yang hanya mencapai Rp. 300 juta-6 Milyar (KPK, 2016). Besaran biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon Kepala Daerah, sehingga harus mencari pundi-pundi uang melalui perizinan (tambang dan perkebunan, dll), hingga pembiayaan cukong politik.
Pilkada dapat dikatakan sebagai sistem yang ideal jika dalam proses pelaksanaan demokrasi langsung sebagai perwujudan kedaulatan di tangan rakyat. Sehingga Pilkada sesungguhnya adalah bagian dari sistem politik lokal. Sebagaimana di ungkapkan G. J. Jacobson, (1983) tentang peran uang dalam pemilihan umum, dan G. C. Jacobson & Kernell (1982) tentang konsep strategis kandidat, mengulas pentingnya uang dan kandidat dalam pemilihan. Uang memainkan peran penting dalam politik Indonesia, sehingga hubungan organik antara uang dan politik menggambarkan politik Indonesia didominasi oleh patronase dan klientelisme (Aspinall & Berenschot, 2019; Fossati, 2016).
Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa, penggunaan uang yang tidak terkontrol dalam politik justru dapat mengikis fungsi demokrasi itu sendiri, sehingga terjadi akses yang tidak setara terhadap kekuasaan, dan politisi menjadi terikat dengan kelompok kepentingan tertentu (Coate, 2002). Dalam prakteknya, hampir setiap negara dengan pluralisme politik, telah mengadopsi beberapa jenis peraturan keuangan politik mulai dari kewajiban memberikan informasi mengenai sumber dana dan melaporkan dana sumbangan tersebut ke penyelenggara pemilu, hingga formula persyaratan untuk membatasi kontribusi biaya dan belanja kampanye.
Relasi kuasa yang terbangun antara para elit (aktor) telah melahirkan kesamaan kepentingan yaitu untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber publik (Olson, 2000). Elite menggunakan struktur kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan lewat transaksi ekonomi maupun politik (Etzioni-Halevy, 2002). Penggunaan struktur kekuasaan bukan saja karena alasan kepentingan ekonomi tetapi juga karena pertimbangan kepentingan politik dan pada akhirnya menurut Della Porta & Vanucci (2017), akan berujung pada rent-seeking dan membentuk politics of privilege. Menurut Caporaso (1996), relasi kuasa seperti ini menyebabkan posisi elite (negara) kehilangan sifat orisinalnya (derivative) karena perbedaan yang tidak jelas antara negara dan ekonomi, dimana kepentingan individu lebih menonjol sementara negara diperlakukan sebagai kendaraan untuk memenuhi kepentingan.
Karena itu menjadi benar apa yang dikatakan (Tilly, 2021) bahwa penguasa (negara) akan mendapatkan keuntungan dari otoritas yang dimiliki. Penguasa menurut (Olson, 2000) akan tetap setia memberikan proteksi melalui kebijakan terhadap para klien (modal). Sementara bagi (Barzel & Kiser, 2002) menyebut penguasa (negara) sebagai instrumen yang dapat menyediakan aspek-aspek regulasi yang saling menguntungkan.
Dalam perspektif ekonomi politik, negara dipandang sebagai institusi yang seringkali dijadikan sebagai alat atau instrumen kekuasaan ekonomi dan dan politik oleh para individu atau kelompok kepentingan untuk mencapai tujuan (Caporaso & Levine, 1992). Para individu atau kelompok kepentingan tersebut berusaha mendapatkan keuntungan distribusi sumber daya dan kebijakan dari para pejabat publik. Untuk mempertahan kekuasaan, pejabat publik melakukan proteksi dan kebijakan sebagai bentuk balas budi kepada para pendukung kekuasaan (Bates, 2014).
Kondisi tersebut berdampak pada melemahnya sivil society. Beberapa tahun terakhir setelah Indonesia dianggap sebagai negara demokratis, lembaga donor tidak tertarik lagi untuk mendanai masyarakat sipil. Padahal, kehadiran masyarakat sipil yang kuat penting sebagai penyeimbang kekuatan negara. Masyarakat sipil ialah kelompok terorganisasi yang relatif otonom dari lembaga negara. Mereka mengartikulasi nilai dan membangun solidaritas dalam mencapai tujuannya (Mietzner, 2011).
Gagasan masyarakat sipil mempunyai sejarah panjang dan berakar pada tradisi pemikiran politik Kristen-Eropa. Daniel Bell berpendapat bahwa konsep masyarakat sipil menekankan pada asosiasi sukarela, gereja, dan komunitas dengan alasan bahwa keputusan harus dibuat secara lokal dan tidak boleh dikontrol oleh negara dan birokrasinya. Sementara itu Charles Taylor mengusulkan agar masyarakat sipil menjadi bagian dari setiap perjuangan kebebasan yang berkelanjutan di dunia modern (Adam B. Saligman: 1992).
Dalam konteks Indonesia, masyarakat sipil dikonstruksi melalui pembentukan berbagai organisasi non-pemerintah yang mempunyai otonomi tertentu untuk mengendalikan agenda dan program pemerintah (Masroer C Jb dan Lalu Darmawan: 2016). Kehadiran lembaga swadaya masyarakat di Indonesia dapat ditelusuri kembali pada awal abad ke -20 ketika Sarekat Dagang Islam (SDI), Budi Utomo, Muhammadiyah, Persis, dan Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 1905, 1908, 1912, 1923, dan 1926 masing-masing. Kecuali Sarekat Dagang Islam yang pada tahun 1912 menjadi Sarekat Islam dan Budi Utomo, seluruh organisasi masyarakat sipil telah menyelenggarakan, mengelola dan memelihara program-programnya yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, termasuk demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat sipil menjadi salah satu elemen dalam proses pembangunan di Indonesia.
Dalam konteks Kalsel, sejak ditetapkan pada tahun 1957 sebagai salah satu provinsi di Indonesia, fungsi masyarakat sipil yang diwujudkan dalam organisasi non-pemerintah tampak lemah dan rapuh terutama ketika mereka harus menghadapi agenda politik sebelum, saat, dan sesudahnya pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Lemahnya lembaga swadaya masyarakat di Kalsel setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sebagian besar organisasi non-pemerintah tidak mempunyai sumber keuangan sendiri untuk mendukung kegiatan mereka. Hal ini menyebabkan ketergantungan lembaga swadaya masyarakat kepada pemerintah provinsi Kalsel dalam bentuk hibah dan bansos. Setiap tahunnya pemerintah Provinsi Klasel termasuk pemerintah daerah di Kabupaten dan Kota di Kalsel mengucurkan APBD miliaran kepada lembaga swadaya masyarakat. Jumlah uang tersebut akan bertambah signifikan ketika pemerintah daerah menghadapi pemilihan kepala daerah.
Persoalan muncul ketika menggunakan program hibah dan bansos sebagai strategi untuk meningkatkan popularitas, pengaruh, dan elektabilitas di kalangan masyarakat. Ketika Paman Birin, menjadi Gubernur Kalsel misalnya, ia berhasil menambah jumlah dana hibah dan bansos. Sebagaimana diberitakan https://www.mkri.id/, 2021 bahwa ada penyalahgunaan bansos berupa beras untuk pencitraan Pasangan Calon Sahbirin Noor dan Muhidin yang melibatkan Aparatur Sipil Negara terutama tenaga kontrak di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Kalimantan Selatan. Jumlah beras yang dikemas dengan stiker tagline “Bergerak” dan “Paman Birin” serta foto Sahbirin Noor berkisar 7 ton per hari, bahkan pernah sampai 14 ton.
Kedua, rapuhnya lembaga swadaya masyarakat di Kalsel. Melalui “program pemerintah daerah berupa hibah dan bansos, melakukan intervensi terhadap organisasi non-pemerintah dengan memasukkan kerabat, keluarga serta tim sukses di banyak posisi strategis. Meski LSM tidak secara terbuka menyatakan dukungannya, namun kaki tangan LSM bergerak mempengaruhi anggota organisasi hingga ke tingkat akar rumput. Situasi ini membuat LSM di Kalsel enggan mengkritik kebijakan tersebut.
Sementara itu, kondisi media massa di Kalsel hampir serupa dengan kondisi lembaga swadaya masyarakat, karena media massa dianggap penting untuk menjaga pengaruh dan citranya di mata masyarakat Kalsel. Hal ini mengarahkan pada politik pertahanan kekuasaan untuk menghubungkan dan membangun hubungan timbal balik dengan pemilik media massa dan jurnalis. Untuk menjaga keteraturan sirkulasi media massa, mereka memerlukan modal dan sejumlah uang yang dapat diperoleh tidak hanya dari pelanggan tetapi juga dari pemerintah daerah melalui iklan reguler pemerintah. Dengan adanya hubungan timbal balik yang baik, media massa di Kalsel terkesan enggan memberitakan kabar buruk atau mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur, Walikota atau Bupati. Namun ketika pemerintah daerah tidak mengalokasikan dana untuk memasang iklan di media massa, media massa cenderung lebih kritis terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah daerah. Hal ini membuktikan bahwa media massa di Kalsel harus berhenti bergantung pada anggaran pemerintah.
Peran pers pasca reformasi 1998 makin kuat sebagai agen perubahan dan kontrol sosial serta sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi. Media senantiasa menjadi pusat perhatian dalam membahas komunikasi massa. Dennis Mc Quail (2000) menyebutkan bahwa media merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan individu dan masyarakat. Adanya media massa dalam kehidupan manusia tentunya mempunyai maksud dan tujuan yang dibutuhkan oleh manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dikemukakan fungsi pers nasional (di mana media massa menjadi bagian di dalamnya) yaitu sebagai media informasi, sebagai media pendidikan, sebagai media hiburan, sebagai media kontrol sosial dan sebagai lembaga ekonomi. Bila dilihat dari posisinya sebagai lembaga sosial, media massa berinteraksi dengan lembaga sosial yang lainnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga yang lainnya. Sehingga media massa harus memiliki peran penting dalam menyajikan berita, opini, dan hiburan kepada masyarakat dengan tujuan memberikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya.
Oleh: Dr. Semuel Risal, M.Si
*Dosen STIA Bina Banua Banjarmasin