Demonstrasi Partai Buruh Desak Presiden Jokowi Cabut PP Tapera

Presiden Partai Buruh Said Iqbal meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Dia menyebut Presiden Jokowi tak semestinya membuat aturan yang merugikan masyarakat di akhir pemerintahannya.
“Nanti sajalah, biarkan pemerintah baru yang mikirin (Tapera),” kata Said Iqbal saat ditemui usai Aksi Tolak PP Tapera di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, dikutip Tempo.co pada Kamis, 6 Juni 2024.
Dia menyebut misalnya pemerintah baru meneruskan atau menjalankan program Tapera mesti ada kepastian bagi buruh untuk memiliki rumah. Senyampang itu, Said meminta agar pemerintah juga menyiapkan anggaran untuk membuat rumah bagi masyarakat.
“Kalau yang pemerintah yang baru memikirkan, kami minta setiap peserta Tapera begitu pensiun dapat rumah. Pemerintah harus menyiapkan anggaran Rp 20 triliun per tahun, bikinlah,” kata dia.
Rumah, kata Said, merupakan tanggung jawab negara. Dalam program Tapera, dia meminta pemerintah mesti membangun rumah dahulu baru meminta peserta membayar iuran. Salah satu skemanya disebut menghidupkan Perumnas di tiap provinsi atau daerah dengan pembiayaan APBN atau APBD.
“Negara nyiapin rumahnya dulu. Perumnas dihidupkan, baru disiapkan cicilan yang dibayar oleh peserta yang akan dapat rumah,” kata dia.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Partai Buruh menilai aturan ini akan merugikan para buruh dan masyarakat.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan apabila Presiden Jokowi tak mencabut PP Tapera akan terjadi demonstrasi di seluruh Indonesia. Dia menyebut para buruh dan elemen masyarakat sipil akan berunjuk rasa di tiap provinsi.
“Ini aksi awalan, apabila pemerintah tak menanggapi aspirasi dari teman-teman buruh, akan dilanjutkan aksi yang meluas seluruh Indonesia, lebih dari 380 kabupaten,” kata Said Iqbal saat ditemui di tengah massa aksi Tolak PP Tapera di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Kamis, 6 Juni 2024. Dia menyebut aksi yang digelar hari ini berasal dari kalangan buruh di kawasan Jabodetabek, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Partai Buruh akan berunjuk rasa di depan Istana Negara Jakarta untuk menolak Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera pada Kamis hari ini. Bendera Partai Buruh, umbul-umbul, dan alat peraga demontrasi melambai-lambai di udara. Beberapa juga tertanam di mobil komando. Pelantang pun memekik-mekik nyanyian buruh.
Selain itu, Partai Buruh juga menolak Uang Kuliah Tunggal atau UKT, UU Cipta Kerja, Omnibus Law, dan upah murah.
“Selain itu, buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM),” kata Said.
Said mengatakan PP Tapera ini mesti dicabut karena tak menjamin kalangan pekerja memiliki rumah. Selain itu, Iqbal mengatakan PP Tapera ini justru menunjukkan pemerintah lepas tanggung jawab untuk memberikan jaminan perumahan bagi masyarakat. Dia menyebut dalam aturan itu tak ada klausul yang mengatakan pemerintah ikut membayar iuran untuk Tapera.
Tak hanya itu, ia juga menuding PP Tapera ini justru membebani biaya hidup para buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun hingga 30 persen dan upah minimum rendah, dia mengatakan iuran Tapera akan memperparah kondisi buruh.
Iqbal juga menceritakan kondisi buruh saat ini telah dikenakan potongan hampir 12 persen dari upah yang mereka terima. Potongan itu berupa pajak penghasilan 5 persen, iuran jaminan kesehatan 1 persen, iuran jaminan pensiun 1 persen, iuran jaminan hari tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera 2,5 persen hingga 3 persen.
“Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh,” kata dia.
Alih-alih menjamin kelas pekerja memiliki rumah melalui iuran, Said Iqbal menyebut uang hasil pungutan itu berpotensi besar disalahgunakan. Dia mengatakan dalam lingkup kerja buruh hanya ada dua sistem jaminan, yaitu jaminan sosial dan bantuan sosial.
Dalam jaminan sosial sumber pendanaannya berasal dari peserta atau pajak dengan penyelenggara independen alias bukan pemerintah. Sedangkan dalam bantuan sosial sumber pendanaannya berasal dari APBN dan APBD yang diselenggarakan oleh pemerintah.
“Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah,” kata Said Iqbal. Selain itu, Said Iqbal juga menilai iuran Tapera harusnya bersifat sukarela dan tak boleh memaksa.
Selain rentan dikorupsi, Said Iqbal juga menyebut uang hasil iuran ini juga tak jelas sekaligus rumit dalam pencairannya. Kondisi ini disebut berkelindan dengan situasi buruh swasta dan masyarakat umum yang bisa saja diputus hubungan kerjanya setiap saat.
Ia menilai iuran Tapera ini lebih tepat ketika hanya untuk aparatur sipil negara atau ASN, TNI, dan Polri yang tak ada pemutusan hubungan kerja. “Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera,” kata dia.