Artikel

Fanatisme Toksik dalam Dunia Politik: Ketika Dukungan Menjadi Perilaku Merusak

Fanatisme Toksik dalam Dunia Politik: Ketika Dukungan Menjadi Perilaku Merusak

Ilustrasi fanatisme toksik, menjilat penguasa demi mendapatkan benefit. ( foto: bing )

 

 

KAKINEWS.ID, Fanatisme dalam dunia politik bukanlah hal baru, namun dalam era digital dan meningkatnya polarisasi politik, fenomena fanatisme toksik semakin sering terlihat. Fenomena ini merujuk pada perilaku pendukung politik yang terlalu berlebihan hingga menimbulkan tindakan destruktif, seperti menyebarkan hoaks, mengintimidasi lawan politik, atau bahkan melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang berbeda pandangan. Fanatisme semacam ini tidak hanya berbahaya bagi masyarakat, tetapi juga dapat merusak sistem demokrasi itu sendiri.

Definisi Fanatisme Toksik dalam Politik

Fanatisme politik dapat diartikan sebagai bentuk dukungan yang sangat intens dan tidak rasional terhadap seorang politisi, partai, atau ideologi politik tertentu. Ketika fanatisme ini menjadi toksik, pendukung politik tidak lagi melihat ruang untuk perbedaan pendapat, dan segala kritik terhadap pihak yang mereka dukung dianggap sebagai serangan pribadi. Hal ini sering mengarah pada perilaku agresif, baik secara verbal maupun fisik, terhadap orang-orang yang dianggap sebagai “musuh politik.”

Beberapa contoh perilaku fanatisme politik yang merusak meliputi:

Penyebaran berita bohong atau hoaks yang dirancang untuk mendiskreditkan lawan politik.

Serangan verbal dan intimidasi terhadap jurnalis, akademisi, atau masyarakat yang mengkritik atau berbeda pandangan.

Meningkatnya polarisasi di media sosial yang memicu perdebatan penuh kebencian dan menghilangkan ruang untuk diskusi yang sehat.

Psikologi di Balik Fanatisme Toksik Politik

Dari perspektif psikologi, fanatisme politik yang toksik sering kali dikaitkan dengan konsep tribalisme dan identitas kelompok. Pendukung yang fanatik mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok politik yang mereka dukung sehingga setiap serangan terhadap kelompok atau pemimpinnya dianggap sebagai serangan terhadap identitas mereka sendiri. Ini memicu reaksi defensif yang dapat berujung pada perilaku destruktif.

Menurut teori identitas sosial yang diperkenalkan oleh Tajfel dan Turner (1986), orang cenderung mengelompokkan diri ke dalam “ingroup” (kelompok mereka sendiri) dan melihat lawan politik sebagai “outgroup” yang harus diserang. Dalam politik, kelompok pendukung cenderung menguatkan diri melalui solidaritas internal, tetapi juga memperburuk polarisasi dengan menolak perbedaan pandangan. Hal ini sering kali diperparah oleh media sosial, di mana algoritma cenderung memperkuat bias kelompok dan menurunkan kualitas diskusi publik.

Dampak Fanatisme Toksik di Dunia Politik

Fanatisme politik yang toksik membawa dampak negatif bagi berbagai aspek kehidupan politik:

Kehidupan Demokrasi: Fanatisme toksik dapat mengikis fondasi demokrasi yang sehat, di mana perbedaan pendapat seharusnya dihargai. Dalam masyarakat yang terpolarisasi, kebebasan berbicara dan diskusi terbuka terancam, dan ruang untuk dialog yang sehat mengecil.

Stabilitas Sosial: Fanatisme politik yang tidak terkendali sering kali memicu kerusuhan sosial, seperti yang terjadi dalam berbagai protes atau bahkan kerusuhan politik di berbagai negara.

Kepercayaan Publik: Perilaku destruktif dari pendukung politik yang fanatik juga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi politik. Ketika diskusi politik tidak lagi sehat, banyak orang yang kehilangan kepercayaan terhadap proses politik dan demokrasi.

Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa polarisasi politik di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, semakin tajam, sebagian besar karena munculnya fanatisme politik yang toksik di media sosial. Penelitian ini menemukan bahwa 55% warga Amerika merasa sangat terpolarisasi, dan sebagian besar menyalahkan pendukung politik yang fanatik sebagai penyebab utama.

Mengatasi Fanatisme Toksik dalam Politik

Mengatasi fanatisme politik yang toksik membutuhkan pendekatan yang holistik, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun media sosial:

1. Pendidikan Politik: Edukasi politik yang memadai sangat penting untuk memastikan bahwa masyarakat memahami pentingnya perbedaan pendapat dalam demokrasi. Hal ini harus mencakup upaya untuk mengajarkan pentingnya berpikir kritis, etika dalam berpolitik, dan toleransi terhadap pandangan yang berbeda.

2. Peran Media: Media, baik tradisional maupun sosial, memiliki peran besar dalam menangani fanatisme politik. Platform media sosial perlu lebih proaktif dalam menangani ujaran kebencian dan informasi palsu yang berpotensi memecah belah masyarakat.

3. Peran Pemimpin Politik: Pemimpin politik harus menjadi teladan bagi para pendukungnya dengan mempromosikan etika politik yang baik. Mereka harus mendorong dialog yang sehat dan menolak segala bentuk kekerasan atau perilaku destruktif dari para pendukung mereka.

Fanatisme politik yang toksik dapat merusak sendi-sendi demokrasi dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Meskipun loyalitas kepada partai atau pemimpin politik adalah hal yang wajar, penting untuk memastikan bahwa dukungan tersebut tidak berubah menjadi perilaku destruktif. Kesadaran akan pentingnya menghargai perbedaan dan menjaga etika dalam berpolitik adalah kunci untuk menciptakan lingkungan politik yang sehat dan inklusif.(drs)

Sumber:

1. Tajfel, Henri, dan John C. Turner. The Social Identity Theory of Intergroup Behavior. Psychology Press, 1986.

2. Pew Research Center. In a Politically Polarized Era, Sharp Divides in Both Partisan Coalitions. Pew Research, 2020.

3. Berry, Jeffrey M., dan Sarah Sobieraj. The Outrage Industry: Political Opinion Media and the New Incivility. Oxford University Press, 2014.

 

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *