Konsesi Tanaman Biomassa Berpotensi Memicu Kehilangan Hutan di Kalsel

Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti perusahaan pemilik konsesi tanaman energi biomassa skema perijinan berusaha pemanfaatan hutan – hutan tanaman (PBPH-HT) di Provinsi Kalimantan Selatan.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga, berkata perusahaan besar kemungkinan bisa menunggangi hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan untuk menanam tanaman energi.
“Kebijakan pengurangan emisi dengan bioenergi ini tidak tepat karena berpotensi menyebabkan kehilangan hutan,” kata Anggi Putra Prayoga saat bincang media Solusi Palsu Transisi Energi dan Ancaman Hutan Kalimantan Selatan di Banjarmasin pada Jumat (23/2/2024).
Menurut Anggi, Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan target pengembangan hutan tanaman baru mencapai 76.567 hektare.
Adapun untuk mencapai FOLU Net Sink penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2030, terdapat kontribusi ancaman kerusakan hutan alam seluas 397.511 hektare di Kalimantan Selatan. Dari jumlah itu, Anggi merinci 111.969 hektare berstatus deforestasi terencana dan 285.542 hektare berstatus tidak terencana yang perlu dimitigasi.
“Deforestasi terencana secara nasional 420 ribu hektare untuk memenuhi target pengurangan emisi FOLU Net Sink,” lanjut Anggi.
Dalam peta biomassa dan lumbung deforestasi baru Indonesia yang dirilis FWI, tercatat deforestasi 2017-2021 seluas 55 ribu hektare, deforestasi terencana 420 ribu hektare, dan proyeksi deforestasi seluas 4,65 juta hektare.
Ia tidak menampik ada potensi konflik lahan ketika tanaman energi digencarkan. Sebab, kata Anggi, usaha baru tanaman energi membutuhkan lahan baru yang sejatinya sudah dimanfaatkan masyarakat.
“Tidak semua lahan konsesi itu clear dari konflik. Lahan yang sudah dimanfaatkan masyarakat itu kemudian dikuasi untuk memenuhi tanaman energi,” katanya.
Ia berkata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru memberikan perizinan berupa eksklusivitas bagi perusahaan dengan memberikan sembilan karpet merah pengadaan tanah untuk memenuhi kebutuhan lahan yang berasal dari penurunan fungsi, perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, serta dari pemanfaatan hutan.
Anggi mengingatkan konsep energi bersih harus memenuhi prinsip keadilan dan berkelanjutan. Dalam tata kelola hutan yang baik, kata dia, perlu transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan penegakan hukum sebagai prasyarat utama pembangunan hutan tanaman energi di Indonesia.
“Ruang-ruang publik juga terbuka sehingga ada peran serta dalam melakukan check and balance terhadap pemenuhan energi,” katanya.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menegaskan transisi energi penggunaan biomassa sebagai pembangkit listrik yang digaungkan oleh pemerintah cuma solusi palsu. Sebab, kata Amalya, riset Trend Asia pada 2023 menyebut bahwa transisi energi akan menimbulkan hutang emisi karena pembakaran biomassa.
“Proses transisi energi sejatinya tidak hanya mengubah jenis energi dan teknologi, tetapi harus bisa menjawab masalah perubahan iklim, meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, kerusakan lingkungan, dan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya,” ujar Amalya Reza.
Dalam dokumen rencana operasional FoLU Net Sink 2030 yang selaras target penurunan emisi karbon dalam Enhace Nationality Determined Contribution (ENDC), pemenuhan target net sink 2030 butuh pembangunan hutan tanaman hingga 6 juta hektare, termasuk HTE baru. Pemenuhan target HTE melalui skema arahan pemanfaatan hutan produksi, pemberian izin baru, dan persetujuan perhutanan sosial dengan total 2 juta hektare.
“Sisanya pemenuhan target pembangunan hutan tanaman, termasuk HTE, akan dipenuhi melalui multiusaha kehutanan, kemitraan kehutanan, dan kerjasama perhutanan sosial,” tutur Amalya.
Menurut dia, aspek utama transisi energi mesti demokratis dan berkeadilan, termasuk di Kalimantan Selatan. Amalya menyebut perlu pelibatan masyarakat lokal sebagai syarat utama mencapai pemenuhan energi yang demokratis. Namun tren transisi energi yang berkembang, ia melihat justru mengancam deforestasi bagi hutan di Kalimantan Selatan.
“PLN menargetkan co firing di 52 PLTU, target total kapasitas PLTU yang diimplementasikan co firing sebesar 18.885 GW. Solusi palsu karena memperpanjang 50 PLTU yang seharusnya sudah pensiun, karena masih pakai batu bara dan biomassa datang dari hutan tanaman energi. Yang diuntungkan PLN, perusahaan tambang, dan Kehutanan,” katanya.