Laut Terancam, Polda dan Pemprov Bersinergi Cegah Destructive Fishing di Perairan Kalsel

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalsel, produksi ikan pada 2017 mencapai 179.696 ton, namun turun menjadi 158.250 ton pada 2024, atau turun sekitar 12 persen. Penurunan ini dipicu kerusakan ekosistem laut, termasuk mangrove dan terumbu karang.
Sementara Ditpolairud Polda Kalsel, hingga September 2025 ada 15 kasus illegal fishing yang diungkap, kerana nelayan melakukan penangkapan ikan menggunakan alat cantrang yang tidak diperbolehkan yang bisa merusak ekosistem di laut.
Pada 19 Februari 2025 Ditpolairud Polda Kalsel menangkap kapal cantrang Utrabaru II, Mayang Sari II, Kurnia Tawakal, dan Malda Jaya I asal Lamongan. Kapal-kapal itu diamankan di 23 mil laut wilayah Asam-asam, Kabupaten Tanah Laut. Kemudian, tepatnya 22 April 2025. Kapal nelayan bernama Mina Pangestu asal Rembang, Jawa Tengah ditangkap di perairan Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru.
Saat itu, ada sebanyak 19 anak buah kapal (ABK) diamankan, termasuk nakhoda kapal berinisial WJ ditetapkan sebagai tersangka.

Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal luar wilayah itu tak hanya berakibat pada rusaknya ekosistem laut. Bahkan tak jarang menimbulkan gesekan antara nelayan yang berujung pada terganggunya keamanan ketertiban masyarakat di wilayah perairan khususnya Kalsel.
Berangkat dari banyaknya kasus-kasus itulah, Polda Kalsel melalui Ditpolirud menginisiasi kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Sinergitas Penanganan Destructive Fishing.
FGD tersebut tak hanya mengundang para pemangku kepentingan dan para nelayan di Kalsel, tapi juga daerah lain yang lautnya bersinggungan langsung dengan Kalsel, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tujuannya tak lain dalam rangka sebagai upaya menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) yang kondusif di wilayah perairan Kalsel.
Kapolda Kalsel, Irjen Pol Rosyanto Yudha Hermawan mengatakan, penegakan hukum bukan prestasi utama kepolisian, melainkan jalan terakhir untuk memberikan efek jera. Dua tahun terakhir ini banyak praktik destructive fishing dilakukan oleh nelayan dari Jateng dan Jatim.
”Ini bukan prestasi, karena upaya hukum itu jalan terakhir. Yang paling penting adalah kesepakatan bersama agar laut bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, baik nelayan Banua maupun luar daerah,” paparnya.
Gubernur Kalsel H Muhidin menyatakan, situasi kondusif di laut tentu sangat penting, terutama bagi nelayan-nelayan yang setiap hari mencari ikan.
“Perairan yang aman sangat penting bagi perekonomian masyarakat. Konflik nelayan harus diakhiri, dan sinergi perlu diperkuat agar laut kita tetap berkelanjutan dan memberi manfaat,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Polairud Polda Kalsel Kombes Pol Dr Andi Adnan SH memaparkan bahwa pihaknya aktif menjaga laut Banua, sepanjang triwulan I 2025, Polairud telah melaksanakan 6.117 kegiatan berupa patroli, pembinaan, hingga sosialisasi.
Selain itu, Polairud melakukan edukasi nelayan, membentuk forum komunikasi nelayan Jawa dan lokal, serta mendorong penggunaan alat tangkap ramah lingkungan.
FGD ini juga menghasilkan lima poin rekomendasi, di antaranya pembentukan forum komunikasi antar nelayan, optimalisasi patroli, edukasi bahaya destructive fishing, serta penyusunan policy brief untuk memperjuangkan kepentingan nelayan tradisional.
Polda Kalsel berharap sinergi berbagai pihak ini dapat mencegah kerusakan laut sekaligus meredam potensi konflik sosial antara nelayan lokal dan nelayan luar daerah.
Kasubdit Gakkum Ditpolair Korpolairud Kombes Pol Donny Carles Go turut mengapresiasi FGD yang digelar Ditpolairud Polda Kalsel, “forum ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat sinergi antar wilayah untuk mencegah konflik sosial sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya laut,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Anggota DPRD Kalsel H Jahrian, dimana Ditpolairud Polda Kalsel bisa
memfasilitasi kegiatan ini dengan melibatkan seluruh srakholder, termasuk para nelayan se Kalsel, bahkan nelayan Jawa Timur dan Jawa Tengah
“Ada beberapa item peraturan yang sifatnya mempermudah nelayan nantinya, bahkan para nelayan ini diberi bimbingan membuat jaring ikan (lampara) yang dimodifikasi, sehingga dapat digunakan dan tidak melanggar aturan bahkab ramah lingkungan,” paparnya.
Dalam forum itu, H Jahrian menyampaikan kepada stakholder terkait yang membidangi perizinan kapal, agar antara nelayan yang menggunakan kapal kecil dan kapal besar harus ada batasan dan dibuatkan rambu.
“Jadi para nelayan ini tau batasan-batasan mereka ketika melakukan penangkapan ikan, Dinas kelautan dan perikanan juga perlu diberikan boat yang memadai untuk mereka melakukan pengawasan,” tutupnya.