Kisah Suku Balik Sepaku Tergusur Akibat Pembangunan IKN

Suara Yanti Dahlia bergetar saat bercerita tentang kehidupan keluarganya mendadak serba susah setelah pemerintah membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Hutan adat dan lahan warga hilang berubah menjadi gedung-gedung megah yang bukan milik mereka. Akibatnya, Yanti dan para warga Suku Balik Sepaku yang biasa menggantungkan hidup pada berladang dan hasil hutan kehilangan mata pencaharian.
“Kami, perempuan adat, terpaksa mencari pekerjaan lain seperti menjadi petugas kebersihan atau berdagang. Tapi, itu sulit karena kami tidak punya kemampuan tersebut,” ujar Yanti di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada Senin, 14 April 2025. Yanti menjadi salah satu peserta Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Rakernas AMAN) yang digelar di Kedang Ipil pada 14-16 April 2025.
Tidak hanya itu, masifnya kerusakan lingkungan di Penajam Paser Utara memicu munculnya berbagai bencana turunan. Saat musim hujan datang, banjir mengancam pemukiman warga. Seperti pada Juni tahun lalu, sekitar 80 rumah warga tergenang banjir. Ironisnya, banjir justru dipicu oleh pembangunan bendungan untuk memasok kebutuhan pasokan air baku gedung-gedung mewah di IKN.
Pemerintah menanggul sungai dan membangun bendungan Intake Sepaku untuk memasok air ke IKN. Di saat yang sama, pembangunan tersebut justru menyebabkan masyarakat adat kebanjiran sekaligus kehilangan akses terhadap sungai yang selama ini menjadi sumber air utama mereka. “Kami kesulitan mendapat air bersih. Air sumur pun kotor,” kata Yanti.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan pembangunan IKN yang dimulai oleh Presiden Joko Widodo dan kini diteruskan oleh Presiden Prabowo Subianto telah menggusur masyarakat Suku Balik yang merupakan penduduk asli Penajam Paser Utara. “Lahan adat yang menjadi penopang hidup utama masyarakat adat kini telah raib karena ambisi besar IKN,” ujarnya.
Menurut Rukka, kondisi masyarakat adat saat ini semakin tertekan dengan sikap pemerintah dan korporasi yang represif. Sepanjang Januari-Februari 2025, AMAN mencatat ada 110 kasus yang melibatkan komunitas adat. Pada 2024, tercatat 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas lebih dari 2,8 juta hektare yang menimpa 140 komunitas.
“Kalimantan Timur menjadi salah contoh situasi genting ini,” kata Rukka.
Yance Arizona, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengatakan bahwa apa yang dialami oleh masyarakat Suku Balik Sepaku adalah bukti sikap otoriterisme pemerintah. Pembangunan yang dilakukan tidak mempertimbangkan nasib dan hak masyarakat adat. Akibatnya, banyak masyarakat adat yang menjadi korban dan diusir dari tanah ulayat mereka.
“Padahal bagi masyarakat adat, tanah adalah hak yang melekat sekaligus menjadi identitas mereka,” ujar Yance.
Karena kondisi tersebut, lanjut Yance, wajar jika kemudian banyak masyarakat adat yang resisten dengan program-program pembangunan pemerintah. Termasuk yang terjadi di Kalimantan Timur. “Sebenarnya masyarakat adat tidak anti terhadap pembangunan. Masalahnya, pembangunan yang dilakukan pemerintah menggusur ruang hidup masyarakat adat,” ujarnya.
Deputi Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN Alimuddin mengklaim pihaknya tidak pernah melakukan penggusuran terhadap masyarakat adat. Dia juga mengatakan bahwa perlindungan terhadap masyarakat adat merupakan prioritas dalam pembangunan IKN. “Konflik yang terjadi kebanyakan antara Masyarakat Adat dan perusahaan, bukan dengan kami (IKN),” ujarnya.
Sedangkan mengenai dampak negatif pembangunan, termasuk hilangnya akses air bersih warga, menurutnya itu adalah hal yang wajar dalam sebuah proses pembangunan. “Karena masih tahap proses pembangunan, belum selesai,” ujarnya. (Tempo.co)