Berita Utama Hukum dan Kriminal

Bareskrim dan Kejagung Belum Sepaham Soal Kasus Pagar Laut, 9 Tersangka Belum Ditahan

Bareskrim dan Kejagung Belum Sepaham Soal Kasus Pagar Laut, 9 Tersangka Belum Ditahan

Polri memutuskan tidak menahan sembilan tersangka kasus pemalsuan 93 sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pagar laut Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Bekasi, Jawa Barat. Salah satu alasannya karena belum sepaham dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus pagar laut.

Adapun ke-9 tersangka adalah MS selaku mantan Kepala Desa (Kades) Segarajaya, AR selaku Kades Segarajaya sejak 2023, JM selaku Kasi pemerintahan Kantor Desa Segarajaya, Y dan S selaku Staf Kantor Desa Segarajaya. Lalu, AP selaku Ketua Tim support Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), GG selaku petugas ukur tim support, MJ selaku operator computer, HS selaku tenaga Pembantu di Tim support Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

“Terkait hal tersebut, semua kasus pagar laut yang terjadi di Bekasi, penyidik tidak akan melakukan penahanan, dikarenakan para tersangka koorperatif dan belum ada kesepahaman antara penyidik dan Kejaksaan dalam melihat kontruksi perkara pagar laut,” kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro dalam keterangan tertulis, Kamis, 24 April 2025.

Ketidaksepahaman antara Polri dengan Kejagung ini terjadi dalam berkas perkara empat tersangka pemalsuan surat untuk penerbitan 260 SHM di wilayah pagar laut Tangerang. JPU pada Kejagung mengembalikan berkas perkara dengan petunjuk untuk melengkapi pasal tindak pidana korupsi.

Djuhandani mengatakan penyidik telah membaca teliti petunjuk JPU yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi. Kemudian, penyidik menyatakan ada beberapa ketidaksesuaian analisa hukum Polri dengan Kejaksaan.

Pertama, berdasarkan Putusan MK Nomor: 256/PUU-XIV/2016, tanggal 25 Januari 2017, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata, sehingga terdapat konsekuensi hukum dari dihapuskannya frasa “dapat” merugikan kerugian negara” di Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Sehingga, kerugian negara secara nyata haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan RI (BPK RI) atau Badan Pengawas dan Keuangan Pembangunan (BPKP),” ujar dia.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara eksplisit menyatakan bahwa yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau melanggar Undang-Undang lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.

“Terhadap adanya indikasi pemberian suap atau gratifikasi kepada para penyelenggara negara saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipikor Mabes Polri,” ungkap dia.

Sedangkan kasus pagar laut di Desa Kohod, Tangerang, tanpa izin dari pihak berwenang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan atau kerugian masyarakat, tengah diselidiki Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Hal itu berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) nomor: SPDP/15/II/RES.1.24/2025/Tipiter, tanggal 19 Februari 2025.

Djuhandani melanjutkan sesuai asas Lex Consumen Derograt Legi Konsumte yang berarti aturan yang digunakan adalah berdasarkan fakta-fakta yang dominan dalam suatu perkara. Sehingga, kata dia, bila melihat dari posisi kasus fakta yang dominan adalah pemalsuan dokumen.

“Di mana tidak menyebabkan kerugian nyata terhadap keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga penyidik tetap berkeyakinan bahwa perkara a quo bukan merupakan perbuatan tindak pidana korupsi, karena yang mengalami kerugian adalah masyarakat nelayan,” terang Djuhandani.

Djuhandani menyebut pihak Kejaksaan Negeri Cikarang telah menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam jual beli wilayah laut di Desa Babelan Kecamatan Tarumajaya. Sedangkan, hasil penyidikan Dittipidum Bareskrim Polri terkait jual beli wilayah laut di Desa Babelan, Kecamatan Tarumajaya dan proses pensertifikatan telah terjadi dugaan tindak pidana pemalsuan surat.

“Dengan modus operandi yang sama dengan perkara di Desa Kohod Kec. Pakuhaji, sehingga hal ini kontradiktif dengan petunjuk JPU yang menyatakan bahwa perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” beber dia.

Dengan demikian, tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 KUHP diyakini telah nyata terjadi dan terpenuhi semua unsur. Baik secara formil maupun materiil. (Metrotvnews)

+ posts

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *