MK Kabulkan Gugatan Pasal Karet UU Pemilukada, Kriminalisasi Ketua LPRI Kalsel Disorot

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan seluruhnya permohonan Perkara Nomor 91/PUU-XXIII/2025 yang menguji norma Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (DPD-LPRI) Kalimantan Selatan yang diketuai oleh Syarifah Hayana Binti Said Muhammad Alaydrus tersebut secara cepat tanpa mendengar keterangan DPR dan Pemerintah dalam agenda pemeriksaan persidangan.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan lembaga pemantau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem demokrasi partisipatoris yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, pengaturan mengenai hak, kewajiban, dan larangan lembaga pemantau pemilihan harus diletakkan dalam kerangka perlindungan terhadap prinsip-prinsip negara hukum demokratis, termasuk jaminan hak atas kepastian hukum.
Namun dalam perkara ini, Pemohon DPD-LPRI Kalimantan Selatan mengalami “kriminalisasi” atas keberlakuan Pasal 128 huruf k UU Pilkada, yang diamini sendiri oleh Mahkamah Konstitusi, sebagai norma yang bersifat multitafsir, “keranjang sampah”, “mulur mungkret” atau “pasal karet” (catch-all provision) yang tidak memiliki rambu-rambu hukum yang dapat digunakan sebagai pembatas.
Kuasa hukum Pemohon, Dr. Muhamad Pazri, mengatakan bahwa jika Pasal 128 huruf k UU Pilkada tetap berlaku, maka tidak hanya DPD-LPRI Kalimantan Selatan saja yang menjadi korban, melainkan lembaga-lembaga pemantau pemilihan lainnya yang mungkin dianggap bertentangan dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, khususnya dalam hal terjadi pemilihan bercalon tunggal dimana lembaga pemantau pemilihan merupakan “perwakilan” dari kolom kosong yang memiliki tugas dan fungsi tidak hanya melakukan pemantauan, namun juga pengawasan dan penegakkan hukum.
“Alhamdulillah, kami sangat bersyukur dan menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi ini. Putusan ini adalah kemenangan bagi demokrasi, kebebasan sipil, dan kepastian hukum, khususnya bagi Pemohon. Pasal 128 huruf k yang ambigu dan berpotensi menjadi alat kriminalisasi kini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, sehingga memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih kuat bagi kerja-kerja pemantauan pemilihan, khususnya Pemohon,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam perkara konkret, norma Pasal 128 huruf k UU Pilkada digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasi Syarifah Hayana, Ketua DPD-LPRI Kalimantan Selatan. Melalui Putusan Nomor 153/Pid.Sus/2025/PN.Bjb, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru memvonis Syarifah Hayana bersalah melakukan kegiatan lain yang dilarang dalam Pasal 128 huruf k UU Pilkada dan dijatuhi putusan pidana.
Adapun yang dianggap sebagai tindakan pidana melakukan “kegiatan lain yang dilarang” oleh DPD-LPRI Kalimantan Selatan dalam Putusan PN Banjarbaru tersebut adalah melakukan penghitungan Formulir C.1 untuk keperluan pemantauan dan pertanggung jawaban sebagai lembaga pemantau pemilihan dalam Pemungutan Suara Ulang pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Banjarbaru Tahun 2025, yang pada saat itu hasil penghitungan tersebut terpublikasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dengan informasi yang keliru dengan menyebutkan “hitung cepat” atau “quick count”.
Sejalan dengan hal tersebut, kuasa hukum Pemohon, Kisworo Dwi Cahyono, menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat menjadi pegangan kuat bagi perkara konkret yang kini sedang dalam tahap banding di Pengadilan Tinggi Banjarmasin.
“Pengadilan Tinggi Banjarmasin wajib mempertimbangkan Putusan MK yang membatalkan keberlakuan Pasal 128 huruf k UU Pilkada tersebut dan mengadili sendiri dalam putusannya untuk membatalkan Putusan PN Banjarbaru yang memvonis Syarifah Hayana bersalah,” tegas mantan Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan tersebut.
Dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, MK menegaskan akan pentingnya kejelasan suatu norma hukum dan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam pengawasan jalannya pemilihan umum. Putusan MK tersebut diharapkan akan menghilangkan kekhawatiran lembaga pemantau pemilihan dan memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam melakukan pemantauan dan pengawasan, khususnya Pemohon sebagai korban pertama dan harapannya terakhir dari Pasal 128 huruf k UU Pilkada untuk menjalankan tugasnya tanpa bayang-bayang kriminalisasi di kemudian hari.
“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi atas kebijaksanaan dan independensinya dalam memutus perkara ini. Apresiasi juga kami sampaikan kepada Tim Hukum Hanyar Banjarbaru yang telah bekerja keras dan profesional, serta kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan moral selama berjalannya proses persidangan,” tutup Denny Indrayana, Kuasa Hukum Pemohon, Tim Hukum Hanyar Banjarbaru.