Respons KPK atas Vonis Penjara dan Denda untuk Eks Pejabat Dinas PUPR Kalsel

Ketua Majelis Hakim Cahyono Riza Adrinato, bersama dua hakim anggota Indra Meinantha Vidi dan Arif Winarno memutuskan vonis terhadap Ahmad Solhan, mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Kemudian Yulianti Erlynah, mantan Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Provinsi Kalsel, Ahmad (Bendahara Rumah Tahfiz Darussalam) dan Agustya Febry Andrian (eks Plt. Kabag Rumah Tangga Gubernur Kalsel dan Kepala Balai Laboratorium Konstruksi Dinas PUPR Kalsel).
Majelis hakim menyatakan Solhan terbukti bersalah melanggar pasal komulatif, sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK RI, yakni Pasal 12 huruf b Undang-undang Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer dan Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana subsider.
“Menjatuhkan hukuman penjara 5 tahun dan pidana denda Rp 600 juta, dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurang selama empat bulan,” ucapnya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (9/7/2025).
Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman membayar uang pengganti sebesar Rp 7.385.400.000. Uang pengganti ini wajib dibayar Ahmad Solhan kepada negara selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan dibacakan.
Apabila Ahmad Solhan tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
“Jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka dipidana penjara selama 3 tahun,” tegasnya.
Menanggapi putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) Ihsan
mengapresiasi putusan yang telah ditetapkan majelis hakim. Dia mengatakan, pihaknya masih belum menentukan sikap untuk mengajukan banding terhadap putusan tersebut.
“Untuk putusan tersebut, kami sudah menyatakan pikir-pikir selama 7 hari,” katanya.
Putusan majelis hakim tidak jauh berbeda dengan tuntutan yang disampaikan, khususnya pada pidana penjara 5 tahun penjara terhadap Ahmad Solhan, lanjutnya. Adapun bagian yang membedakan terdapat pada pidana denda. JPU menuntut denda Rp 1 miliar, sedangkan majelis hakim memutuskan sebesar Rp 600 juta.
Terkait nilai uang pengganti masih tetap sama, antara tuntutan JPU dan putusan majelis hakim sebesar Rp.16.295.500.000.000. Namun yang membedakan hanya pada teknis pembayarannya.
“Begini, sedikit kami jelaskan bahwasannya uang suap itu sebesar 1 miliar, kemudian uang gratifikasi lebih kurang sebesar 12 miliar 295 juta 500 ribu rupiah, jadi total uang pengantinya sebesar 16 miliar 295 juta 500 ribu rupiah,” terangnya
Ihsan menambahkan, JPU menyita barang bukti lebih kurang sebesar Rp 8 miliar. Sementara majelis hakim berpandangan uang pengganti tersebut langsung dikurangi dengan yang telah disita pada saat proses penyidikan.
“Nah makanya setelah itu, setelah dikurangi dengan total uang pengganti yang harus dibebankan kepada terdakwa. Sehingga uang pengganti yang akhirnya dibayarkan adalah sebesar 7 miliar, lebih kurang segitu,” paparnya.
Terkait uang pengganti, Muhammad Lutfi Hakim kuasa hukum Ahmad Solhan, merasa keberatan. Sebab uang pengganti sebesar Rp 7,3 miliar lebih itu cukup besar bagi Ahmad Solhan.
“Dengan kondisi klien kami yang hanya pegawai, (uang pengganti) sebesar itu, apalagi penggunanya tidak untuk diri pribadi, keputusan itu sangatlah berat bagi kami,” imbuhnya.
Sementara untuk Yulianti Erlynah, mantan Kabid Cipta Karya Dinas PUPR Provinsi Kalsel, mendapat vonis 4,2 tahun penjara, kemudian membayar denda Rp 600 juta subsider 4 bulan hukuman penjara.
Kemudian hukuman tambahan, berupa harus membayar uang pengganti sebesar Rp 395 juta. Apabila dia tak membayar dalam waktu satu bulan hingga putusan memiliki hukum tetap, maka harta bendanya disita, jika tak cukup maka diganti dengan hukuman 2,6 tahun penjara.
Berbeda dengan Agustya Febry Andrian yang di vonis 4 tahun penjara, denda Rp 300 juta, subsider 3 bulan penjara dan Ahmad di vonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan penjara.