Praperadilan Noor Muhammad: Kesaksian Termohon Justru Menguatkan Dalil Pemohon

Rantau, 11 Juli 2025 — Sidang pra peradilan antara Noor Muhammad selaku Pemohon melawan Kejaksaan Negeri Tapin resmi memasuki tahap akhir dengan penyampaian kesimpulan dari Kuasa Hukum Pemohon.
Dalam kesimpulan yang disusun dan disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum dari Kantor Hukum ADV SPN & Rekan — terdiri atas M. Supian Noor, S.H., M.H., CTT., C.Med., Khairul Fahmi, S.H.I., dan H. Mahyuni, S.H., M.H. — terungkap bahwa seluruh proses penetapan tersangka dan penahanan terhadap Pemohon diduga cacat hukum secara formil dan substantif, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan konstitusional.
Kesaksian Pihak Termohon Justru Menguatkan Dalil Pemohon
Ironisnya, dua saksi kunci yang dihadirkan oleh Termohon justru mengonfirmasi dugaan pelanggaran serius yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum:
- Auditor BPKP Kalimantan Selatan, Sdr. Indra Hermawan, dalam persidangan mengakui bahwa:
Laporan Hasil Audit (LHA) atas dugaan kerugian negara baru selesai pada 24 Juni 2025, dan baru diserahkan kepada Kejaksaan tanggal 1 Juli 2025.
Padahal, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak 4 Juni 2025, tanpa adanya LHA. Artinya, tidak ada bukti formil tentang unsur kerugian negara pada saat penetapan tersangka. Fakta ini menguatkan dalil bahwa penetapan tersebut prematur dan melanggar asas due process of law.
- R. Farhan, S.H., penasihat hukum sebelumnya yang dihadirkan Termohon, justru mengakui bahwa ia menerima dan menitipkan dokumen penetapan tersangka serta penahanan kepada advokat lain yang tidak memiliki hubungan hukum apapun dalam perkara ini, yaitu Sdri. Putri Galuh. Ini merupakan pelanggaran fatal terhadap asas kehati-hatian, karena:
Dokumen penting hukum acara tidak disampaikan kepada Pemohon atau kuasa hukum yang sah.
SPDP yang diklaim sudah diserahkan ternyata diberikan kepada PH yang tidak lagi berwenang sejak 16 Juni 2025, karena kuasa hukum telah berpindah ke ADV SPN & Rekan.
Termohon Ajukan Yurisprudensi yang Justru Menampar Argumennya Sendiri
Termohon mencantumkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 113/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL (Perkara Thomas Trikasih Lembong) sebagai dukungan terhadap tindakannya.
Namun sangat disayangkan, substansi putusan itu justru membatalkan penetapan tersangka karena tidak adanya Laporan Hasil Audit (LHA) — persis seperti keadaan dalam perkara a quo.
Hal ini menunjukkan bahwa Termohon tidak memahami substansi putusan yurisprudensi yang ia kutip sendiri, dan lebih jauh lagi menandakan minimnya pemahaman terhadap prinsip dasar KUHAP.
Deretan Cacat Prosedural Termohon yang Terbukti di Persidangan:
Penahanan dilakukan sebelum pemeriksaan sebagai tersangka. Pemohon ditahan 13 hari sebelum diperiksa — bertentangan dengan Pasal 17 KUHAP dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Tidak ada uraian dua alat bukti sah dalam surat penetapan tersangka. Hal ini melanggar Pasal 184 KUHAP dan prinsip fair trial.
Pemeriksaan saksi (Ridani) oleh auditor BPKP, bukan penyidik resmi, tanpa berita acara dan di luar KUHAP — alat bukti menjadi tidak sah.
Seluruh bukti Termohon tidak dibubuhi tanggal pada meterai, yang menurut Pasal 7 ayat (5) UU Bea Meterai 13/1985, membuat dokumen tersebut tidak sah sebagai alat bukti.
Pemohon Tuntut Keadilan dan Pemulihan Hak
Atas dasar fakta, hukum, dan preseden yurisprudensi yang jelas, Kuasa Hukum Pemohon menuntut Majelis Hakim untuk:
- Menyatakan seluruh tindakan penyidikan, penahanan, dan penetapan tersangka tidak sah dan batal demi hukum.
- Memerintahkan Termohon menghentikan penyidikan dan membebaskan Pemohon dari tahanan.
- Memulihkan nama baik, martabat, dan hak-hak konstitusional Pemohon.
- Menghukum Termohon untuk membayar kerugian sebesar Rp145 juta atas penderitaan materiil dan immateriil yang dialami Pemohon.
Praperadilan Ini Jadi Alarm Serius bagi Penegakan Hukum
Perkara ini mengingatkan kita bahwa kekuasaan penegakan hukum tanpa kendali hukum justru berubah menjadi alat kriminalisasi. Saat aparat menempuh jalan pintas — melanggar prosedur, mengabaikan alat bukti, dan menyampaikan dokumen secara serampangan — maka yang dikorbankan adalah hak-hak dasar warga negara.
Putusan praperadilan ini akan menjadi tolak ukur apakah hukum tetap menjadi panglima, atau justru dijalankan dengan prinsip “asal tangkap, baru cari dasar.”
Kami berharap, keadilan tidak hanya dimenangkan secara hukum — tetapi juga dirasakan secara nyata oleh rakyat yang mencari keadilan di pintu pengadilan.