Eksekusi Cepat Kakek Kahpi Vs 6 Tahun Tertunda Eksekusi Silveter

MARTAPURA – Kinerja Kejaksaan kembali menuai sorotan publik terkait pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sorotan ini mencuat setelah perbandingan kasus Kakek Kahpi di Kalimantan Selatan dengan Silvester Matutina di Jakarta menjadi perbincangan hangat, Senin (18/8/2025).
Perbandingan tersebut disampaikan Ketua Umum Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI), Marselinus Edwin Hardhian, saat menjadi pembicara di acara Dua Arah Kompas TV episode “PODCAST IJAZAH JOKOWI DIPIDANA, ABRAHAM SAMAD: KRIMINALISASI” pada Jumat (15/8/2025) malam.
“Kakek Kahpi yang baru berusia 73 tahun langsung dieksekusi saat mengajukan PK. Siang hari menjalani sidang pertama, malamnya dieksekusi,” ungkap Marselinus.
“Apakah kejaksaan negeri Jakarta Selatan berani melakukan hal yang sama seperti yang terjadi pada Kakek Kahpi (terhadap Silvester Matutina), mari kita tunggu,” lanjutnya.
Kakek Kahpi, pria lanjut usia 73 tahun asal Kabupaten Banjar, divonis 1 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasi. Meski kuasa hukumnya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan mendapat dukungan luas dari masyarakat, mahasiswa, hingga anggota DPR RI, Kejaksaan Negeri Banjar tetap mengeksekusi putusan tersebut.
Eksekusi dilakukan dengan alasan PK tidak menunda eksekusi. Bahkan, pelaksanaannya berlangsung dramatis pada malam hari, 12 Juni 2025, dengan penjemputan langsung di rumah Kahpi dan penahanan di Lapas Banjarbaru.
Berbanding terbalik, kasus Silvester Matutina justru belum dieksekusi meski Mahkamah Agung menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara sejak 2019. Artinya, sudah enam tahun putusan tersebut inkrah, namun Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan belum melaksanakan eksekusi.
Alasan penundaan eksekusi Silvester pun terus berganti, mulai dari terpidana sempat “hilang”, pandemi COVID-19, hingga alasan kehati-hatian karena adanya PK. Padahal, menurut ahli hukum, pengajuan PK tidak pernah menjadi dasar untuk menunda eksekusi.
Penasehat hukum Kahpi, C Oriza Sativa Tanau, mengaku heran dengan perbedaan perlakuan tersebut.
“Heran sekaligus keberatan. Kenapa Silvester yang inkrah sejak 2019 belum dieksekusi, sedangkan Kai Kahpi langsung dijemput malam hari setelah sidang PK pertama,” ujarnya, Senin (18/8/2025) malam.
Menurut Oriza, praktik seperti ini menimbulkan kesan adanya ‘kelas-kelas hukum’ di Indonesia.
“Seolah ada perlakuan khusus terhadap kasus yang dihadapi tokoh publik, sementara warga biasa seperti Kai Kahpi justru diperlakukan sebaliknya. Padahal di mata hukum semua warga negara statusnya sama,” bebernya.
Ia menegaskan, tidak ada dasar hukum yang membenarkan penundaan eksekusi.
“Kalau untuk rakyat kecil seperti Kai Kahpi, eksekusi jalan kilat. Tapi untuk tokoh tertentu, bisa molor bertahun-tahun. Inilah kesenjangan hukum yang nyata,” katanya.
Oriza berharap perbedaan perlakuan ini menjadi perhatian serius penegak hukum di Indonesia.
“Jangan sampai rakyat kecil merasa hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” pungkasnya.