Masyarakat Sipil Kecam Kerja Sama Penyadapan Kejagung dan Operator Telekomunikasi

Jaksa Agung Muda Intelijen atau Jamintel Kejaksaan Agung Reda Manthovani menandatangani nota kesepakatan dengan empat operator penyedia layanan telekomunikai dalam rangka penegakan hukum. Mereka adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk.
“Nota Kesepakatan ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar dalam keterangan resminya, Rabu, 25 Juni 2025.
Ia menyebut kesepakatan itu sebagai bentuk kolaborasi kejaksaan perihal tugas dan fungsi mereka dalam penyelenggaraan fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum.
Kejaksaan Agung menyatakan kerja sama ini disandarkan pada Pasal 30 B UU No. 11/2021 tentang Perubahan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan, berkaitan dengan wewenang kejaksaan di bidang intelijen penegakan hukum.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 30B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Dalam Pasal 30B huruf e, salah-satu tugas kejaksaan adalah melaksanakan pengawasan multimedia.
Berdasarkan rilis resmi Kejagung, JAM-Intel mengungkap kolaborasi dengan penyedia jasa telekomunikasi menjadi hal yang krusial agar kualitas dan validitas data atau informasi tidak terbantahkan serta memiliki kualifikasi nilai A1.
“Data atau informasi dengan kualifikasi A1 tersebut tentunya memiliki berbagai manfaat, diantaranya dalam tataran praktis seperti pencarian buronan atau daftar pencarian orang, pengumpulan data dalam rangka mendukung penegakan hukum,” ujar Reda, dikutip dari rilis Kejagung, Rabu, 25 Juni 2025.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Raksha Initiatives, Dejure, Centra Initiative, Imparsial, HRWG, ELSAM, ICJR, mengecam nota kesepakatan tersebut. Kerja sama ini dinilai telah menjadi ancaman nyata terhadap perlindungan hak atas privasi warga negara, sebagaimana dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, Pasal 30C UU No. 11/2021 sendiri sebenarnya telah memberikan batasan yang tegas dan limitatif, terkait penggunaan wewenang penyadapan ini, yang harus didasarkan pada undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan, dan hanya yang terkait dengan penanganan tindak pidana.
Dalam rilisnya, Kamis, 26 Juni 2025, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan larangan untuk melakukan penyadapan sewenang-wenang ditegaskan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”.
Artinya tanpa memenuhi sejumlah persyaratan dan prosedur, tindakan penyadapan yang melibatkan operator telekomunikasi, dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum. Praktik penyadapan hanya dimungkinkan dilakukan secara lawful, dengan alasan keamanan nasional atau penegakan hukum, sepanjang memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan atau permissible restriction. (Tempo.co)