Revisi UU TNI Dinilai Kemunduran Profesionalitas Militer

Setara Institute mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
“Setara Institute mendorong agar DPR RI menunda pembahasan Revisi UU TNI dan terlebih dahulu memperluas partisipasi bermakna publik, para pakar, akademisi, dan masyarakat sipil,” kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Tempo.co Senin, 15 Juli 2024.
Ikhsan menilai dalam revisi UU TNI terdapat perkembangan yang mengkhawatirkan seiring penambahan muatan-muatan pasal usulan perubahannya. Dia menyebut bahwa awalnya terdapat dua perubahan pasal yang bermasalah, yakni Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan.
“Dari semula hanya dua Pasal, bertambah dengan Pasal 39,” ujarnya.
Adapun perubahan Pasal 39 menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Wacana ini muncul melalui surat Panglima TNI Agus Subiyanto kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto yang mengusulkan terdapat Pasal lainnya masuk dalam RUU TNI sebagaimana disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksda Kresno Buntoro dalam Dengar Pendapat Publik RUU Perubahan TNI pada 12 Juli lalu.
Selain Pasal 39, Ikhsan menyampaikan, Setara Institute menyoroti juga menyoroti Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini.
“Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat,” ujarnya.
Tak sampai di situ, Ikhsan menilai perubahan dua pasal itu merupakan langkah mundur, kontradiktif dan, tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas. Dia turut mengingatkan soal usulan perubahan lainnya mengenai perincian ruang lingkup dan definisi ketentuan Operasi Militer untuk Perang dalam Pasal 7.
Peneliti Setara Institute lainnya, Merisa Dwi Juanitas, turut memberikan sejumlah catatan terhadap revisi UU TNI itu. Pertama, dia menilai usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara. Sebab, kata dia, ada intervensi prajurit TNI dari sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, kini bertambah pada bidang ekonomi.
“Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit,” ujarnya.
Selanjutnya, Merisa menyebut pencabutan norma larangan berbisnis bagi anggota TNI berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar, menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi backing sebuah entitas bisnis.
Dia meminta agar ada ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud. Langkah itu dapat dilakukan dengan memberi penjelasan atas pasal tersebut, bukan dengan menghapus larangan keterlibatan bisnis bagi prajurit TNI.
Lebih lanjut, Merisa turut menyoroti penambahan ketentuan dalam Pasal 47 soal penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga. Dia juga mempermasalahkan Naskah Akademik (NA) yang memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI.
Merisa menilai perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer. Dia berpendapat bahwa dampak jangka panjang yang ditimbulkan menimbulkan meliputi utang budi politik karena semua jabatan di kementerian atau lembaga tersebut diberikan berdasarkan kebijakan presiden.