Sidang Korupsi Timah, Saksi Sebut Laba PT Timah Menurun

Bersaksi di sidang korupsi timah Harvey Moeis, Abdullah Umar Baswedan selaku Kepala Divisi Keuangan PT Timah periode 2018-2019 mengungkap laba atau keuntungan PT Timah pada 2018 mengalami penurunan dan merugi pada 2019 dan 2020.
“Mengambil dari data laporan keuangan audited, mulai dari 2017 laba Rp 500 miliar, 2018 laba Rp 132 miliar,” kata dia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, pada Senin, 26 Agustus 2024.
Umar menjelaskan PT Timah mengalami penurunan laba Rp 368 miliar dari tahun sebelumnya pada 2018. Bahkan pada 2019, PT Timah merugi Rp 600.011.000.000 dan Rp 340 miliar pada 2020.
Kemudian, pada 2021, PT Timah mencetak untung atau laba Rp 1,3 triliun dan Rp 1,041 triliun di 2022.
Merespons pembacaan laporan keuangan tersebut, Majelis Hakim Tipikor pun mempertanyakan penyebab turunnya pendapatan PT Timah di 2018 dan kerugian di 2019. Hakim menanyakan soal penurunan laba itu karena ada saksi lain yang menyebut pada 2018, 2019 ada peningkatan produksi biji timah.
Umar menyebut ada faktor penyebab turunnya laba dan ruginya keuangan PT Timah di tahun tersebut. Selain itu, laporan keuangan yang dilaporkannya merupakan buatan dari Divisi Akutansi. “Ini kan sebetulnya laporan keuangan yang membuat adalah akutansi, ini audited,” ujarnya.
Dalam kesaksiannya, Umar berkata, kalau dilihat dari laba kotor di 2018-2019 masih positif, tetapi laba bersihnya rugi. Penyebabnya, ucap dia, kalau dilihat secara umum bahwa produksi meningkat, biaya meningkat tapi kemudian harga jual harga logam LME pada saat itu mengalami penurunan.
Kejaksaan Agung telah mengungkapkan 22 tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Pada awalnya, kerugian negara dari kasus ini ditaksir senilai Rp 271 triliun. Namun, perhitungan pakar mengungkapkan bahwa kerugian negara telah naik secara drastis menjadi Rp 300 triliun.
Penyebab dari lonjakan nilai kerugian ini berasal dari beberapa faktor, antara lain kemahalan harga sewa smelter, penjualan bijih timah kepada mitra, serta kerugian keuangan negara dan kerusakan lingkungan.
Menurut Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah, kewajiban untuk membayar kerugian negara itu dibebankan kepada para tersangka yang terlibat dalam kasus ini, tidak hanya oleh PT Timah Tbk.
“Kewajiban melekat di PT Timah karena di jalankan di dalam Izin Usaha Pertambangan (PT Timah), tapi rugi terus. Ini harus dibebankan ke mereka yang menikmati,” kata Febrie di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Rabu, 29 Mei 2024.
Hal ini disampaikan Febrie sebagai respons terhadap kenyataan bahwa PT Timah tidak mungkin sanggup membayar total kerugian negara sebesar Rp 300 triliun itu sendiri, terutama karena perusahaan terus merugi. (Tempo.co)