Puncak Kemarau Diprediksi Juni-Agustus 2025, Waspada 5 Potensi Resiko Kemarau

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau tahun 2025 akan berlangsung lebih singkat ketimbang biasanya di sebagian besar wilayah Indonesia. Hal itu berdasarkan pemantauan dan analisis dinamika iklim global dan regional yang dilakukan BMKG.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan awal musim kemarau 2025 telah mulai terjadi sejak April dan akan berlangsung secara bertahap di berbagai wilayah Indonesia.
“Awal musim kemarau di Indonesia diprediksi tidak terjadi secara serempak. Pada bulan April 2025, sebanyak 115 Zona Musim (ZOM) akan memasuki musim kemarau. Jumlah ini akan meningkat pada Mei dan Juni, seiring meluasnya wilayah yang terdampak, termasuk sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua,” ujar Dwikorita dalam siaran pers pada laman resmi BMKG, bau-baru ini.
Dia menjelaskan fenomena iklim global seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada dalam fase netral, yang menandakan tidak adanya gangguan iklim besar dari Samudra Pasifik maupun Samudra Hindia hingga semester II tahun 2025.
Dia menjelaskan fenomena iklim global seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini berada dalam fase netral, yang menandakan tidak adanya gangguan iklim besar dari Samudra Pasifik maupun Samudra Hindia hingga semester II tahun 2025.
Tetapi, suhu muka laut di wilayah RI cenderung lebih hangat dari normal dan diperkirakan bertahan hingga September, yang dapat memengaruhi cuaca lokal di Indonesia.
Lebih lanjut, Dwikorita mengungkapkan puncak musim kemarau akan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025, dengan wilayah-wilayah seperti Jawa bagian tengah hingga timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku diperkirakan mengalami puncak kekeringan pada Agustus.
“Durasi kemarau diprediksi lebih pendek dari biasanya di sebagian besar wilayah, meskipun terdapat 26% wilayah yang akan mengalami musim kemarau lebih panjang, terutama di sebagian Sumatera dan Kalimantan,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyampaikan sejumlah rekomendasi penting bagi sejumlah sektor vital.
Di sektor pertanian, dia menyarankan petani melakukan penyesuaian jadwal tanam sesuai prediksi awal musim kemarau di tiap wilayah, pemilihan varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan, serta optimalisasi pengelolaan air untuk mendukung produktivitas pertanian di tengah keterbatasan curah hujan.
“Untuk wilayah yang mengalami musim kemarau lebih basah, ini bisa menjadi peluang untuk memperluas lahan tanam dan meningkatkan produksi, dengan disertai pengendalian potensi hama,” imbuhnya.
Sedangkan sektor energi dan sumber daya air, tambah dia, diimbau untuk mengelola pasokan air secara bijak dan efisien demi menjamin keberlanjutan operasional pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sistem irigasi, dan pemenuhan kebutuhan air baku masyarakat selama periode musim kemarau berlangsung.
Sementara itu, seperti dilansir Antara, walaupun fenomena iklim global seperti El Nino dan IOD saat ini berada dalam kondisi netral, suhu muka laut di sekitar Indonesia yang cenderung lebih hangat hingga September diperkirakan tetap akan mempengaruhi cuaca lokal dan memicu dampak tertentu yang patut diwaspadai.
Berikut potensi risiko musim kemarau 2025 terhadap sektor pertanian:
1. Kekeringan di wilayah tertentu
Beberapa daerah seperti Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan diprediksi mengalami kekeringan saat puncak musim kemarau, terutama pada bulan Agustus.
2. Gagal panen dan gangguan pertanian
Dengan kemarau yang datang tidak serempak dan sebagian wilayah lebih kering dari biasanya, ada potensi penurunan hasil panen. Petani disarankan menyesuaikan jadwal tanam dan memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan.
3. Ancaman kebakaran hutan dan lahan
Wilayah yang mengalami musim kemarau normal hingga lebih kering rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Perlu kesiapsiagaan ekstra seperti pembasahan lahan gambut dan pengisian embung sejak dini.
4. Ketersediaan air bersih terbatas
Dengan curah hujan yang minim, pasokan air untuk kebutuhan harian, pertanian, dan pembangkit listrik tenaga air bisa berkurang. Pengelolaan air yang bijak sangat dibutuhkan agar kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi.
5. Potensi hama di wilayah basah
Sebagian wilayah justru akan mengalami musim kemarau yang lebih basah. Kondisi ini bisa menjadi peluang untuk memperluas lahan tanam dengan tetap mengantisipasi potensi hama akibat kelembapan.